Rabu, 03 Desember 2008

Mengapa Manusia Menderita? Sebuah Analisis Filosofis

I. Pendahuluan
Setiap hari dalam kehidupan, kita mengalami berbagai peristiwa, entah menyenangkan, menyedihkan, atau pun biasa-biasa saja. Kita sering menyebut peristiwa-peristiwa itu sebagai pengalaman. Berbagai macam pengalaman itu mungkin mempunyai arti masing-masing dalam hidup kita, dan bahkan dapat mempengaruhi hidup kita.
Lepas dari ruang lingkup yang amat luas tentang pengalaman, dalam makalah ini kita akan melihat tiga hal yang sering dijumpai atau pun didengar dalam kehidupan kita, yakni penderitaan, kejahatan, dan kematian. Maka untuk dapat masuk dalam pengertian itu, dalam makalah ini akan kami bahas pengertian serta pandangan beberapa tokoh akan ketiga hal itu. Dari pembahasan itu, kita akan mencoba mencari titik temu ketiga hal itu dalam kaitannya dengan pengalaman manusia. Kita akan mencoba menjawab pertanyaan ini: Apakah penderitaan, kejahatan, dan kematian itu merupakan pengalaman kita sebagai manusia?

II. Pengertian Pengalaman
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata pengalaman, bahkan kita tak hanya mendengar kata itu, hidup kita justru tak lepas dari apa yang disebut pengalaman. Ada bermacam pengalaman yang kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari, perjumpaan dengan seorang gadis, pengalaman menderita suatu penyakit, menyapa orang lain, bahkan keberadaan kita saat ini pun sudah merupakan bagian dari pengalaman.
Dalam bahasa Inggris, pengalaman disebut experience, dan dalam bahasa Latin, experientia, experire, yang berarti mencoba atau mengusahakan. Istilah ini dipakai untuk menunjuk pada informasi yang diperoleh dari pancaindera dan bukan dari akal. Pengertian ini dapat dirinci sebagai:
1. Mengalami peristiwa, perasaan, emosi, penderitaan, kejadian, keadaan kesadaran. Indera kita memperoleh rangsangan. Oleh karena itu, kita mengatakan bahwa kita mempunyai suatu pengalaman karena kita telah melihat atau mendengar atau mencicipi, dsb.
2. Hasil penginderaan ditambah tanggapan.
3. Pengetahuan yang muncul dari kegiatan pribadi, praktek dan keterampilan praktis.
4. Kemampuan atau bakat untuk menjalankan sesuatu yang muncul dari peristiwa yang dialami dan ditanggapi oleh indera kita.
5. Pemahaman langsung terhadap orang atau benda-benda tertentu. Bukan pemahaman melalui buku atau pun hasil permenungan, karena pengalaman merupakan hasil dari kontak langsung dengan alam (manusia dan objek-objek lainnya).

III. Penderitaan dan Kejahatan
Dalam berbagai pandangan filsuf, penderitaan dan kejahatan merupakan dua hal yang mempunyai kesejajaran. Oleh karena itu, kedua hal ini akan dibahas dalam satu kesatuan. Ada berbagai pandangan dari para tokoh tentang penderitaan dan kejahatan. Penderitaan dan kejahatan selalu diperlawankan dengan kebaikan. Maka untuk bisa memahami arti dan makna penderitaan dan kejahatan, kita perlu memahami terlebih dahulu arti dan makna kebaikan.
a. Kebaikan: Arti dan Makna dalam Yang-Ada
Kebaikan merupakan bentuk praktis dari intensionalitas, yakni soal pengarahan diri subyek menuju obyek. Dengan kata lain, kebaikan merupakan suatu titik tujuan yang akan dicapai oleh yang-ada. Kebaikan merupakan salah satu aspek transendental dari intensionalitas.
Menurut sifatnya, semua yang-ada itu baik. Untuk memahami hal ini perlu dibedakan pengertian kebaikan secara moral dan ontologis. Dalam pengertian moral, kebaikan adalah segala tindakan bebas yang kita lakukan sejauh sesuai dengan norma moral. Sedangkan dalam pengertian ontologis, kebaikan ialah realitas itu sendiri sejauh memiliki kesempurnaan tertentu, nilai tertentu dan kegunaan aktual tertentu.
Semua yang-ada adalah baik. Namun ini bukan berarti kebaikan yang tanpa batas, seolah-oleh segala segi baik. Hanya kebaikan yang tak terbataslah yang memiliki kebaikan sempurna, sehingga dalam kebaikan yang sempurna ini tak ada yang-jahat dan yang-buruk. Lain halnya dangan setiap yang-ada yang mempunyai hakekat dan struktur terbatas. Maka kebaikan dalam yang-ada itu juga terbatas dan mempunyai tingkat kebaikan tertentu.
b. Penderitaan dan Kejahatan
i. Pengertian Umum
Dalam pembahasan tentang kebaikan di atas, kita mengetahui bahwa jika sesuatu itu berada, itu sudah merupakan kebaikan. Dari pengertian ini, kita dapat memahami bahwa penderitaan dan kejahatan bukanlah sesuatu yang positif. Penderitaan dan kejahatan merupakan suatu privasi, yakni kurangnya kebaikan atau kesempurnaan dalam sesuatu yang dapat dan semestinya ada. Sebagai contoh, bagi seseorang tidak dapat melihat merupakan suatu penderitaan. Atau, tidak jujur merupakan kejahatan moral.
Secara umum dapat dikatakan bahwa penderitaan, kejelekan, kejahatan, ketidakbaikan ialah tidak-adanya yang semestinya ada. Oleh karena itu penderitaan, kejelekan, kejahatan, ketidakbaikan bukanlah suatu negasi, namun sebuah privasi. Privasi ini hanya mungkin terjadi dalam realitas positif. Misalnya, sebuah piring retak atau pecah.
ii. Manusia sebagai Subyek Penderitaan dan Kejahatan
Mengapa manusia dikatakan sebagai subyek penderitaan dan kejahatan? Manusia dikatakan sebagai subyek penderitaan dan kejahatan mempunyai tiga makna, yakni: pertama, hanya manusia yang mampu berbuat jahat, yang lain tidak. Kedua, hanya manusia yang bisa menunjuk, mengungkapkan penderitaan, kesengsaraan. Ketiga, tidak ada penderitaan dan kejahatan dalam dunia kalau manusia tidak ada.
Secara lebih konkrit bisa dijelaskan demikian. Keadaan alam dapat dilihat sebagai bencana atau penderitaan oleh makhluk berakal budi dan berkehendak bebas (ingat: manusia mempunyai kebebasan – red). Makhluk berakal budi akan merasakan keadaan alam itu sebagai kejahatan yang menyentuh inti kehidupannya, karena hanya manusialah yang mampu mengungkapkan dan merasakan bencana fisik sebagai penderitaan baginya. Bencana alam seperti gempa bumi, gelombang pasang, tsunami, kekeringan, banjir, dsb sebenarnya tidak jahat atau buruk. Semua itu merupakan gerakan normal hukum alam yang sudah semestinya. Semua itu menjadi bencana kalau menimpa manusia sehingga ia merasakan penderitaan.
Demikian juga dengan kejahatan. Manusia merasakan kejahatan sebagai hal yang bertentangan dengan keinginan kodratnya. Maka berhadapan dengan kejahatan moral, manusia merasa dirinya sebagai manusia yang direndahkan. Ia merasa tidak enak dan rendah karena perbuatan jahat orang lain. Ia juga merasa kurang manusiawi kalau menimbulkan penderitaan atau kejahatan pada orang lain.
c. Pandangan Para Tokoh
Ada begitu banyak pendapat para tokoh tentang penderitaan dan kejahatan. Kendati begitu, kami hanya akan memaparkan pendapat beberapa tokoh saja (sebagai mahasiswa yang baik, tentunya Anda akan kreatif dalam mencari sumber bahan yang ada - red).
i. Plato (427-347 SM), Plotinos (204-269)
Manusia dan dunia walaupun material, tetaplah berpartisipasi pada idea-idea (Plato) atau berupa emanasi To Hen (Plotinos). Berkaitan dengan sengsara dan kejahatan, materilah penyebabnya; sedangkan segala yang bersifat rohani otomatis bersifat harmonis (benar dan baik). Kejahatan materi terletak pada kemampuannya untuk memesonakan diri pada manusia, sehingga orang lupa akan harmoni kerohanian yang nyata. Kekurangan ataupun dosa dalam manusia terletak pada bagian-bagiannya yang lebih rendah; dan harmoni dapat direbut kembali dengan jalan membersihkan diri dari bagian-bagian itu.
ii. Agustinus (354-430)
Sebagaimana pendapat Plato bahwa segala sesuatu adalah baik, Agustinus pun memandang demikian. Setiap yang-ada itu diadakan dan dibiarkan ada karena diinginkan dan dikehendaki. Objek dari kehendak adalah kebaikan, yang berarti pula bersifat positif. Maka penderitaan pun selalu mempunyai tujuan yang baik. Penderitaan dapat menguji kesetiaan orang yang saleh dan menghukum kejahatan orang yang berdosa. Sementara itu, malum (keburukan) bersifat negatif, tidak diinginkan dan tidak diciptakan. ”Malum est privatio boni.” Artinya, keburukan adalah kekurangan dari kebaikan.
iii. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
Hegel memandang penderitaan dalam konteks penderitaan yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis, yakni adanya berbagai kesedihan moral setiap orang. Ia memandang bahwa penderitaan mempunyai peran juga dalam sejarah. Dengan adanya pengalaman penderitaan akan muncul kesadaran akan pentingnya perdamaian dunia seluruhnya. Dari kesadaran ini akan lahir berbagai usaha teoretis dan praktis. Tidak akan ada ide untuk mengatur kehidupan bersama yang damai, kalau tidak ada perang dan ketidakadilan.
iv. Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955)
Ia adalah seorang imam Yesuit yang mengalami ’pengasingan’ oleh Gereja dan tarekat karena gagasan-gagasannya yang dianggap menyimpang dari iman Gereja. Ia adalah seorang profesor geologi di Paris. Ia tidak menutup mata terhadap penderitaan karena ia sendiri mengalami penderitaan dari Gereja dan tarekatnya. Pemikirannya tentang penderitaan bercorak evolusionistis. Bencana, penyakit, sengsara, dan dosa merupakan kegagalan-kegagalan dalam proses evolusi yang tak bisa dihindarkan. (Sumber lain mengatakan sebagai sampah evolusi: disharmoni pada makhluk hidup dan kesadaran akan dosa yang memiliki kebebasan). Penderitaan adalah efek samping dari sebuah universum yang sedang berevolusi menuju keharmonisan.
Dari pendapatnya, dapat diambil dua hal penting tentang penderitaan. Pertama, melihat penderitaan sebagai sampah yang tak terelakkan dalam perkembangan evolusi. Untuk maju ke tahapan yang lebih tinggi, harus ada yang dipangkas dan ditinggalkan. Yang harus dipangkas dan ditinggalkan adalah elemen-elemen yang tak dapat dipadukan ke dalam perkembangan selanjutnya. Maka penderitaan adalah harga yang mesti dibayar agar ada perkembangan. Kedua, terletak usaha untuk mengusahakan perkembangan. Penderitaan merupakan pengalaman yang menyadarkan kita akan keterpisahan yang masih mewarnai jalan kita, sehingga mendorong kita untuk mewujudkan keharmonisan dan persatuan. Maka penderitaan merupakan sebuah pengalaman berharga dan sekolah yang mesti dimanfaatkan demi perwujudan kesatuan.
v. Hinduisme
Dalam Hinduisme terdapat beberapa pemikiran pokok yang menjadi pilar Hinduisme, yakni:
1. Karma yakni prinsip yang mengatur segala sesuatu di dunia yang menjadi, yang menjelaskan bahwa segala sesuatu mempunyai sebab-akibat.
2. Samsara: prinsip yang mengatur secara lebih rinci tanggungjawab yang mesti dipikul setiap manusia atas tindakannya sesudah kematiannya. Kalau hidup di dunia penuh dengan kejahatan, maka ia akan mengalami dukkha, yang selalu dikaitkan dengan penderitaan, rasa sakit dan kejahatan.
3. Moksha: pembebasan dari karma dan samsara. Pembebasan itu dapat terjadi melalui moksha atau kelepasan yang sempurna, yakni saat atman atau individu manusia, mencapai brahman, yakni yang ada, being. Atman merupakan bagian dari brahman. Orang akan menyadari kesatuannya dengan brahman melalui dharma atau perbuatan-perbuatan baik.

IV. Kematian
a. Pengertian
Arti kematian di bawah ini akan kami ambil dari tiga tokoh dalam jaman modern yaitu:
1. Martin Heidegger : Menuju Kematian
Proses kematian adalah cara berada yang diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian bukan hanya merupakan urusan di masa yang akan datang tetapi selalu hadir pada setiap saat sekarang. Maka saat sekarang harus dipahami sebagai satu titik dalam proses kematian. Dan dalam hal ini baginya kita harus menghadapi kematian sebagai suatu kemungkinan yang nyata, sehingga perlu sadar untuk mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh. Dengan demikian manusia akan menemukan dirinya yang utuh.
2. Jean Paul Satre
Satre melihat kehidupan tidak bertolak dari kematian tetapi justru ia memandang kematian bertolak dari kehidupan. Dia dengan keras menolak pandangan Heidegger yang mengatakan bahwa hidup merupakan persiapan menuju kematian. Bagi Satre, kematian adalah melulu kenyataan yang menimpa manusia dengan tiba-tiba dan buta sehingga kita tidak akan pernah mampu memahami dan mengontrolnya. Kematian merupakan peristiwa yang datang tanpa waktu dan dengan kejam menerobos kehidupan manusia selagi manusia sendiri sedang merencanakan hidup selanjutnya dan berusaha mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya.
3. Karl Jaspers : Kematian sebagai pemenuhan
Menurut Jaspers, manusia terus-menerus terlibat di dalam pelbagai krisis yang membawanya kepada situasi perbatasan di dalam pengalaman yang menakutkan-dari kenyataan perjuangan, penderitaan dan dosa yang tak dapat dihindari. Manusia selalu diancam oleh pengalaman akan nasib yang tak dapat diubah terutama di dalam kematian dari orang tercinta atau di dalam kesadaran akan kematiannya sendiri.
b. Pandangan tentang Kematian
Kematian adalah kenyataan yang pasti dan bagian yang integral dalam kehidupan manusia. Namun terkadang terjadi bahwa kita sangat sulit untuk merenungkan dan membahas kenyataan kematian ini. Para filsuf pun hanya sedikit yang membahas panjang lebar mengenai kematian ini.
Kita akan melihat adanya dua pandangan yang berbeda mengenai kematian. Pandangan pertama menyatakan bahwa kematian adalah suatu hal yang menakutkan dan pandangan lain menyatakan bahwa kematian adalah satu hal yang tidak perlu ditakuti pun seandainya kematian diterima dan dialami sebagai kebinasaan total. Pandangan kedua inilah yang mau kita lihat dari pandangan beberapa tokoh berikut ini.
1. Epicurus dan pengikut-pengikutnya
Menurut Epicurus dasar dari ketakutan akan kematian adalah keyakinan bahwa kematian merupakan puncak penderitaan atau rasa sakit, dan bahwa jiwa tetap hidup untuk merasakan sakit atau siksaan yang hebat itu setelah kematian. Ia menolak pandangan ini karena baginya kematian adalah hilangnya kesadaran. Dengan hilangnya kesadaran, hilang pula rasa sakit yang dialami sebelum kematian. Kematian bagi Epicurus tidak berbeda dengan tidur, maka tidak perlu ditakuti.
2. Para Stoics
Seneca mengatakan bahwa untuk mengatasi ketakutan akan kematian kita harus memikirkannya terus menerus. Caranya adalah dengan mengingatkan diri bahwa kita adalah bagian dari alam dan harus menerima diri sesuai dengan peranan yang diberikan kepada kita.
3. Spinoza
Spinoza mengatakan “seorang yang merdeka tidak memikirkan sesuatu yang kurang dari kematian dan kebijaksanaannya tidaklah terletak di dalam permenungannya atas kematian tetapi di dalam permenungannya atas kehidupan”.

c. Proses Kematian
Kita harus tahu bahwa kematian merupakan suatu hal atau kenyataan yang dekat dengan manusia. Dalam hidupnya, manusia selalu dilingkupi akan adanya kematian. Kematian ada setelah manusia itu mengalami kelahiran atau kehidupan. Rupanya kematian dapat dilihat dari proses-proses yang mendahuluinya. Namun harus diingat bahwa hal ini bukanlah suatu proses yang sama pada semua orang, toh kita juga dapat melihat ada banyak orang yang meninggal secara mendadak, melalui kecelakaan misalnya.
Di bawah ini adalah tahap-tahap di mana orang akan menghadapi kematian, yaitu:
Tahap pertama : Menyangkal dan menyendiri
Tahap kedua : Marah
Tahap ketiga : Tawar menawar
Tahap keempat : Depresi
Tahap kelima : Menyerah dan pasrah
d. Saat Kematian
Saat manakah orang dikatakan mengalami kematian? Penentuan yang secara sepintas mudah, ternyata tidaklah mudah untuk dipastikan. Awalnya manusia menyatakan bahwa bila organ manusia yaitu paru-paru dan jantung tidak lagi berfungsi dengan semestinya, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut sudah tidak bernyawa lagi. Inilah yang disebut dengan kematian klinis. Namun pada abad-abad ini muncul istilah kematian biologis yang menyatakan bahwa saat kematian adalah saat di mana otak sudah kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Kematian ini bersifat definitif: kehilangan fungsi-fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat direparasi lagi.

V. Penutup
Pengalaman penderitaan, kejahatan, dan kematian tak pernah jauh dari hidup kita sebagai manusia. Dalam pembahasan mengenai masing-masing hal tersebut, kita sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan di atas (dalam pendahuluan-red). Tanpa memperpanjang pembahasan, kita dapat menyimpulkan bahwa penderitaan, kejahatan, dan kematian merupakan bagian dari pengalaman manusia. Manusia sebagai subyek dari ketiga hal itu yang secara langsung mengalaminya. Demikian juga dengan pengalaman, yang selalu terkait dengan subyek yang mengalaminya. Penderitaan, kejahatan, dan kematian sebagai pengalaman sejauh manusia mengalami, merasakan, dan menyadarinya.

Sumber Acuan:
Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta 1996
Bagus, L., Metafisika, Gramedia, Jakarta 1991
Bakker, A., Ontologi Metafisika Umum, Kanisius, Yogyakarta 1992
Budi Kleden, SVD, P., Membongkar Derita, Ledalero, Maumere 2006
Leahy, Louis, Manusia sebuah Misteri, Gramedia, Jakarta 1984
Van der Weij, P.A., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terjemahan oleh K.Bertens, Kanisius, Yogyakarta 1998

* Bahan Presentasi Matakuliah Filsafat Manusia - FTW 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar