Rabu, 18 Februari 2009

FERNANDO LUGO MENDEZ

Tanggalkan Jabatan Uskup demi Kaum Miskin

Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin.
Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda.
Kalau saya berada di istana kepresidenan,
posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.
(Fernando Lugo Mendez)

PENDAHULUAN
Pelantikan mantan uskup, Fernando Armindo Lugo Mendez (selanjutnya akan disebut Lugo), yang terpilih sebagai presiden Paraguay, mengakhiri kekuasaan selama 61 tahun Partai Colorado, yang berkuasa sebelum-selama-sesudah diktator Stroessner dari 1954-1989. Lugo mulai memerintah sejak 15 Agustus 2008.[1]
Pelantikan Lugo sebagai presiden memang membawa sebuah harapan baru bagi negara Paraguay. Namun di pihak lain, yakni Gereja, pelantikannya sebagai presiden masih meninggalkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Sejumlah komentar mencuat dari peristiwa ini. Bukannya pertanyaan yang tanpa alasan, namun pertanyaan yang muncul mempunyai dasarnya terlebih dihadapkan pada hukum Gereja yang berlaku.
Seorang uskup menanggalkan jabatannya untuk menjadi presiden? Kiranya ini merupakan satu pertanyaan awal yang muncul dalam benak penulis berkaitan dengan persoalan ini. Pertanyaan ini tentunya masih bisa berlanjut dengan berbagai pertanyaan lainnya di seputar peristiwa yang baru saja terjadi di Paraguay ini. Memang, pertanyaan yang wajar diungkapkan menyikapi peristiwa ini, bukan hanya di kalangan Gereja, namun juga kalangan umum. ”Seorang uskup harus berada di luar lapangan, menganalisa situasi sosial, dan mendampingi umat dalam politik,” tegas (mantan) Presiden Paraguay, Nicanor Duarte Frutos menanggapi pencalonan Lugo sebagai presiden.[2]
Di pihak Lugo keputusannya meninggalkan jabatan uskupnya untuk menjadi presiden tentu beralasan, yakni keprihatinannya terhadap kaum miskin di negaranya. Keprihatinan ini mendorong uskup penganut Teologi Pembebasan ini untuk mengambil jalan lain dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi negaranya. Jalan yang dipilihnya yakni terjun langsung dalam dunia politik praktis, dengan menjadi presiden yang terjawab dengan kemenangannya dalam pemilu 20 April 2008. Ia memperoleh 41 % suara dalam pemilu tersebut, mengungguli Blanca Ovelar (yang merebut 31 % suara) serta Lino Oviedo (22 %). Suara yang ia perolehnya pun berasal dari koalisi oposisi dan rakyat kecil.[3] Dengan demikian jelaslah bahwa Lugo menjadi tumpuan harapan bagi rakyat miskin di Paraguay. Akankah Lugo mampu mewujudkan harapan rakyatnya dengan membawa perubahan bagi negaranya? Bagaimana Gereja belajar dari pengalaman ini, terlebih dalam merumuskan kembali misinya di tengah dunia?

HIDUP DI TENGAH KAUM MISKIN DAN TERPINGGIRKAN
Keputusan Lugo menanggalkan jabatan uskup dan memutuskan menjadi presiden tak bisa lepas dari latar belakang hidupnya. Fernando Lugo dilahirkan di San Pedro del Parana, Paraguay 30 Mei 1951. Keluarganya bukanlah sebuah keluarga yang taat dalam praktek keagamaan, setidaknya ia jarang melihat ayahnya pergi ke gereja. Namun, ia dibesarkan dalam situasi keluarga yang bernuansa politik. Pamannya, Epifanio Mendes Fleitas adalah anggota Partai Colorado yang membelot serta pernah dianiaya dan dikucilkan oleh rezim Jenderal Stroessner, sedangkan ayahnya pernah dipenjara selama dua puluh kali dan beberapa saudaranya juga pernah diasingkan.
Pendidikan dasar dijalaninya di sebuah sekolah keagamaan di Encarnacion. Pada usia 17 tahun ia melawan keinginan ayahnya yang menginginkannya menjadi seorang pengacara. Ia masuk ke sekolah keguruan dan mulai mengajar di sebuah pedesaan. Di sini perhatiannya terhadap orang terpinggirkan mulai tertanam. Ia sangat diterima oleh masyarakat di sana, yang sangat kuat dalam keagamaan, meskipun tidak mempunyai imam. Dari pengalamannya ini, ia merasa bahwa Allah memanggilnya untuk menjadi imam. Ia memutuskan untuk bergabung dengan seminari Serikat Sabda Allah (SVD) pada usia 19 tahun.
Lugo ditahbiskan menjadi imam pada 15 Agustus 1977 dan ditugaskan sebagai misionaris di Ekuador selama 5 tahun. Di sanalah ia mulai belajar tentang Teologi Pembebasan. Tahun 1982 ia kembali ke Paraguay dan setahun kemudian ia diusir dari negara tersebut oleh pemerintahan Jenderal Stoessner karena aktivitas politik kemanusiaannya. Akhirnya, Gereja mengirimnya ke Roma untuk studi lanjut. Pada tahun 1987 Lugo kembali ke tanah airnya dan dua tahun kemudian runtuhlah kekuasaan diktator Stroessner. Ia ditahbiskan sebagai Uskup pada 17 April 1994 dan bertugas di keuskupan termiskin di San Pedro.
Saat bertugas di San Pedro inilah dia mengalami bagaimana penderitaan umatnya. Pada 11 Januari 2005 ia mengundurkan diri sebagai uskup dan mendukung demonstrasi untuk menggulingkan kekuasaan diktator pada 29 Maret 2006.[4] Lugo pun meneruskan perjuangannya ini dengan mencalonkan diri sebagai presiden. Ia pun meminta laikalisasi dari Vatikan, namun Paus menolaknya atas dasar bahwa seorang uskup tak dapat meminta izin laikalisasi. Paus juga menolak memberikan izin kanonik baginya untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Ia tetap bertahan pada pilihannya.
Pada 20 April 2008, Lugo mengalahkan lawan politiknya dari Partai Colorado. Pada tanggal 15 Agustus 2008, ia dilantik sebagai presiden Paraguay. Ia juga menyatakan bahwa tidak akan menerima gaji sebagai presiden. Lugo, yang dikenal sebagai uskup kaum miskin (Bishop of the Poor) juga menjanjikan untuk memberikan tanah bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah serta menghentikan praktek korupsi di negara Paraguay.[5]

USKUP YANG TIDAK SETIA PADA GEREJA (?)
Keputusan Lugo menanggalkan jabatan uskupnya memang menjadi satu permasalahan dalam Gereja Katolik. Sebagai seorang klerus, bahkan uskup, keputusannya untuk menjadi presiden harus berhadapan dengan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Secara tegas Gereja mengatur keterlibatan seorang klerusnya dalam dunia perpolitikan. Hukum itu dinyatakan dalam KHK 285 § 3 dan 287 § 2, sebagai berikut:
”Para klerikus dilarang menerima jabatan-jabatan publik yang membawa-serta partisipasi dalam pelaksanaan kuasa sipil” (KHK 285 § 3), dan
”Janganlah mereka (klerikus) turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum” (KHK 287 § 2).
Jelaslah bahwa keputusan Lugo tersebut bertentangan dengan Hukum Kanonik Gereja. Keputusannya memilih menjadi presiden menjadi indikasi ketidaksetiaannya pada Gereja Katolik. Secara prosedural, ia memang telah mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai uskup. ”Mulai hari ini, gereja katedralku adalah negara dan bangsa ini”[6], kata Lugo mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan uskup pada 25 Desember 2007.
Kendati bertentangan dengan Hukum Kanonik, Lugo tetap berpegang pada pendiriannya. Keprihatinannya telah mendorong untuk membuat suatu keputusan tegas. Nampaknya latar belakang Teologi Pembebasan yang dianutnya menjadi salah satu pendorong baginya untuk memilih jalan berpihak pada mereka yang miskin. Baginya, statusnya sebagai uskup tak akan cukup berpengaruh untuk memperbaiki keadaan kemiskinan yang ada.[7] Hal ini sejalan dengan pola pemikiran yang ada dalam Teologi Pembebasan yang dianutnya:
Only authentic solidarity with the poor and a real protest against the poverty of our time can provide the concrete, vital context necessary for a theological discussion of poverty. The absence of a sufficient commitment to the poor, the marginated, and the exploited is perhaps the fundamental reason why we have no solid contemporary reflection on the witness of poverty.[8]

Bagi Lugo, dengan menjadi presiden yang berarti terjun langsung dalam sistem pemerintahan, merupakan wujud solidaritasnya yang nyata bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Keputusan Lugo untuk berpihak pada yang miskin sebenarnya juga menjadi salah satu agenda Gereja Katolik dalam seluruh pewartaannya. Gereja juga memihak kepada mereka yang miskin (preferential option for the poor). Ini menjadi sebuah tantangan yang mesti dijawab oleh Gereja dalam mewujudkan pesan Yesus yang ingin mewartakan Kabar Gembira bagi orang miskin.
Semangat preferential option for the poor yang ditularkan Yesus ini pula telah mendorong Gereja untuk berpikir bagaimana mewartakan Kabar Gembira itu di tengah mereka yang terbuang, tertindas, dan tersingkir dari masyarakat. Mengutamakan kaum miskin berarti memberi perhatian, perlakuan khusus, preferensi bagi rakyat atau kelompok-kelompok pinggiran dalam masyarakat. Sikap Gereja untuk mengutamakan kaum miskin ini akhirnya terjawab dalam Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII (1891). Ini merupakan langkah besar bagi Gereja di mana Gereja secara tegas menempatkan diri pada pihak kaum miskin dan kaum buruh.[9]
Secara sekilas kita bisa melihat adanya kontradiksi yang terjadi dalam kebijaksanaan Gereja berkaitan dengan masalah Lugo. Di satu sisi, Gereja melarang para klerusnya untuk terjun dalam dunia politik praktis, di sisi lain semangat memihak kaum miskin (preferential option for the poor) dalam Gereja perlu mencari langkah yang tepat untuk menyatakannya. Dalam hal ini Lugo berada dalam posisi yang cukup sulit. Mungkin ini pula yang membuat Vatikan tidak mengekskomunikasi Lugo, melainkan hanya memlarang Lugo untuk melaksanakan tugas imamatnya. Bahkan pada Juli 2008 Paus Benediktus XVI menerima permohonan laikalisasinya di mana hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.[10]

REALITAS KEMISKINAN: SEBUAH TANTANGAN YANG HARUS DIHADAPI
Kemiskinan adalah tema yang diangkat oleh Lugo dalam pencalonannya sebagai presiden. Niat awal yang mendorongnya meninggalkan jabatan uskupnya ialah keprihatinannya terhadap kemiskinan negaranya, terlebih saat negaranya dikuasai oleh pemerintahan yang korup. Ia merasa perlu terjun langsung dalam pemerintahan untuk memperbaiki seluruh sistem dalam negaranya. Kesejahteraan Paraguay menjadi tantangan yang dihadapinya saat ini sebagai seorang presiden.
Paraguay adalah negara dengan luas 406.752 km dengan populasi penduduk 5.773.000 jiwa (data tahun 2004). Sebagian besar tanah di sana merupakan tanah berpasir dan tidak subur, hanya seperlima bagian tanah saja yang bisa dikelola untuk pertanian. Namun sistem kepemilikan tanah yang ada di sana membuat penduduk setempat tidak memiliki lahan pribadi.[11]
Di kawasan Amerika Latin, Paraguay merupakan negara termiskin. Pendapatan utama bersumber dari produk-produk pertanian, terutama kedelai dan produk turunannya. Pada tahun 2007 produk dari kedelai ini menyumbang 2390 juta dolar AS, lebih setengah hasil ekspornya. Tingkat pertumbuhan ekonominya pun sebenarnya cukup bagus yakni 6,4 persen per tahun dan dapat mencukupi untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun karena pemerintahan yang diktator, korupsi dan nepotisme; maka status negara termiskin bagi Paraguay tak bisa dielakkan.[12]

BERKUASA UNTUK RAKYAT[13]
Malam sebelum pelantikannya sebagai presiden, Lugo mengatakan akan menolak menerima gaji presiden sekitar 4000 dollar AS (sekitar Rp 37 juta) per bulan. Hal ini tentu saja merupakan hal yang baru di dunia perpolitikan, yang seringkali digunakan sebagai sarana memperoleh status ekonomi yang lebih baik. Pernyataan Lugo ini menjadi salah satu bukti atas keberpihakannya kepada kaum miskin. Uang tersebut akan diperuntukkan bagi rakyatnya yang papa.
Komitmen Lugo ini sangat bertentangan dengan apa yang kebanyakan dilakukan oleh para politikus di dunia. Banyak orang berlomba merebut kekuasaan, namun hanya sedikit yang sadar bahwa memegang kekuasaan itu mengandung kewajiban. Kekuasaan di satu sisi menjadi hal yang begitu menggiurkan, sehingga banyak orang berlomba untuk mendapatkannya. Namun di sisi lain kekuasaan justru melahirkan bencana saat dilakukan tidak semestinya, yakni demi kepuasan diri, sebagaimana dilakukan oleh pendahulunya yang begitu korup. Bagi Lugo, kekuasaan yang diperolehnya harus dikembalikan kembali kepada pemberi kekuasaan itu sendiri yakni rakyatnya.

PENUTUP: SEBUAH REFLEKSI BAGI GEREJA
Keputusan Lugo menanggalkan imamat dan jabatan uskup tetap menjadi sebuah hal yang baru dan patut dipertanyakan. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah keterlibatan seorang mantan uskup dalam politik akan membawa perubahan yang lebih baik daripada kaum awam? Menjawab pertanyaan ini, kita sudah bisa belajar dari dua pendahulu Lugo yakni Kardinal Scoto dari Nicaragua dan mantan imam Jean-Bertrand Aristide dari Haiti. Keadaan negaranya tidak menunjukkan hal yang lebih baik. Bagaimana dengan Presiden Lugo?
Lepas dari berhasil tidaknya Lugo dalam mengemban tugas, fenomena uskup menjadi presiden ini menjadi sebuah tugas bagi Gereja. Dihadapkan pada Hukum Gereja, mungkin Lugo bisa dipersalahkan. Namun kenyataan kemiskinan, yang menjadi option Gereja terus menerus hadir sebagai sebuah problema. Sudah sebarusnya Gereja merumuskan kembali misinya di tengah dunia, terutama berhadapan situasi aktual yang ada saat ini. Sebuah misi yang dapat menjawab tantangan dan tuntutan zaman.

DAFTAR PUSTAKA
Banawiratma, J.B., SJ.,
1988 ”Pilihan Mengutamakan Kaum Miskin dalan Ajaran Sosial Gereja”, dalam JB.Banawiratma (Ed), Aspek-aspek Teologi Sosial, Kanisius, Yogyakarta.
Barrionuevo, A.,
2008 “Difficult Road Ahead for New Paraguay Leader”, dalam http://www.nytimes.com
Bhisu, M., dkk,
2007 ”Uskup Bandel”, Hidup, 18 Maret.
Gutierrez, G.,
1973 A Theology of Liberation, Orbis Books, New York.
Hebblethwaite, M.,
2008 ”Former bishop ends party’s 60-year rule”, The Tablet, 26 April.
2008 “Lugo’s New Calling”, dalam The Tablet, 26 April.
http://karodalnet.blogspot.com
Kompas,
2008 “Berkuasa untuk Rakyat”, Kompas, Senin 18 Agustus.
Tjahto Widyasmoro, T.,
2008 “Fernando Lugo Presiden Rakyat Miskin”, Intisari, Juli 2008.
www.ayomerdeka.wordpress.com/
___________,
2006 “Paraguay”, Ensiclopaedia Britannica. Akses 28 Agustus 2008.

Catatan kaki:
[1] Bdk. Margaret Hebblethwaite, “Former bishop ends party’s 60-year rule”, The Tablet, 26 April 2008, hal.40
[2] Martin Bhisu, dkk, “Uskup Bandel”, Hidup, 18 Maret 2007, hal.10
[3] Bdk. T.Tjahto Widyasmoro, “Fernando Lugo Presiden Rakyat Miskin”, Intisari, Juli 2008, hal.64
[4] Bdk. Margaret Hebblethwaite, “Lugo’s New Calling”, dalam The Tablet, 26 April 2008, hal 17.
[5] Newyork Times dalam http://www.nytimes.com/
[6] T.Tjahto Widyasmoro, “Fernando Lugo Presiden Rakyat Miskin”, Intisari, Juli 2008, hal.67
[7] Bdk. http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/23/00561347/lugo.asa.rakyat.miskin.paraguay
8 Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation,Orbis Books, New York 1973, hal.302.

[9] Bdk. J.B.Banawiratma, SJ, “Pilihan Mengutamakan Kaum Miskin dalam Ajaran Sosial Gereja,” dalam Aspek-aspek Teologi Sosial, Kanisius, Yogyakarta 1988, 157-174.
[10] Lih.Alexei Barrionuevo, “Difficult Road Ahead for New Paraguay Leader”, dalam
http://www.nytimes.com/2008/08/16/world/americas/16paraguay.html?_r=1&oref=slogin
[11] Bdk "Paraguay."Encyclopædia Britannica from Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD .[Accessed August 28, 2008].

12 Bdk. www.ayomerdeka.wordpress.com/ dan http://karodalnet.blogspot.com/2008_08_01_archive.html
13 Lihat dalam Tajuk, “Berkuasa untuk Rakyat” Kompas, Senin 18 Agustus 2008, hal.6.

Pluralisme Agama Nurcholis Madjid

Sebuah Usaha Pencarian Konvergensi Agama di Indonesia

Pengantar
Berbicara mengenai pluralitas, pikiran kita akan langsung mengarah pada situasi beragamnya segala macam segi kehidupan. Kita bisa melihatnya di Indonesia, pluralitas terjadi dalam berbagai macam hal: agama, suku, kebudayaan, bahasa, adat-istiadat, dst. Pluralitas ini menjadi fakta yang tak bisa dihindari oleh setiap orang, bahkan Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai kehendak Tuhan. Secara lebih jauh pluralitas mendorong kepada pluralisme, yang menurut Nurcholis Madjid merupakan suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.[1]
Pluralisme yang dimaksudkan oleh Nurcholis Madjid tak sekedar diterima dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, atau pun sebagai “kebaikan negatif” yang hanya ditilik dari segi kegunaannya untuk menyingkirkan kefanatikan. Pluralisme dalam hal ini harus dimengerti sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” bahkan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.
Dalam paper ini, penulis ingin mencoba membahas salah satu usaha menumbuhkan penerimaan pluralisme yang ditawarkan oleh Nurcholis Madjid. Agar tidak terlampau panjang, penulis membatasi diri pada dasar-dasar yang digunakan oleh Nurcholis Madjid dalam merumuskan pemikirannya tentang pluralisme.

Biografi Singkat
Nurcholis Madjid, atau dikenal dengan nama Cak Nur adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Ia dilahirkan di Jombang, 17 Maret 1939. Keluarganya merupakan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, merupakan pendukung Masyumi.
Pendidikan ditempuhnya di berbagai pesantren, salah satunya di Gontor, Ponorogo. Selanjutnya ia menempuh pendidikan di IAIN Jakarta pada tahun 1961-1968. Setelah menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya di tempat itu dan aktif dalam Himpunan Masyarakat Islam (HMI), ia menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1978-1984. Disertasi doktoralnya tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
Setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina, ia terus mengembangkan ajaran Islam yang moderat sampai akhir hidupnya. Ia meninggal dunia pada 29 Agustus 2005.

Sebuah Diskursus Beragamnya Agama
Diskursus tentang agama sangat sarat dengan muatan emosi, kecenderungan dan subyektivitas individu. Setiap agama mempunyai ajaran yang sangat ideal dan cita-citanya amat tinggi. Bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan ”benda” yang suci, sakral, angker, dan keramat. Agama selalu menawarkan jaminan keselamatan, kebahagiaan, dan keadilan. Namun pada kenyataannya, agama tak jarang menjadi penyebab perpecahan, permusuhan, pertengkaran, dan segala macam konflik lainnya.
Fenomena di atas, menurut Ahmad Najib Burhani – seorang aktivis Indonesian Network for Social Engineering (INSE), disebabkan oleh 3 faktor berikut:[2]
a. Pendewaan Agama
Para pemeluk agama seringkali mendewakan agama yang dianutnya. Tuhan beserta segala sifatNya berulangkali hilang dari ingatan. Prinsip-prinsip agama dan ajaran sucinya juga nyaris habis terpangkas dan tinggal jargon-jargon yang tidak mempunyai nyali. Agama sudah berubah fungsi menjadi markas jaringan ”mafia”, sehingga tidaklah heran bila kemudian muncul ”manipulasi agama” dan ”korupsi agama”.
b. Pengkelasan dalam berakhlak
Umat beragama sering terjebak untuk lebih dekat kepada saudara-saudara ”seagama” (in group feeling) dan menomorduakan persahabatan dengan rekan dari agama lain. Hal ini membuahkan sikap yang kurang obyektif dalam memandang apa yang ada di luar diri sendiri. Di sinilah timbul pengkelasan dalam masyarakat, yang akhirnya cenderung mengarah kepada perpecahan.
c. Monopoli kebenaran
Banyak agama – atau bahkan seluruh agama – yang mengajarkan kebenaran absolut bagi pemeluknya. Agama memberikan doktrin-doktrin tentang kebenaran kepada penganutnya. Namun seringkali pemberian doktrin ini melampaui batas kewajaran, apabila tidak diiringi dengan anjuran penelitian dan pencarian argumen logis atas doktrin-doktrin yang disampaikan dan anjuran menghargai doktrin orang lain. Lebih lanjut, pemberian doktrin dengan menganggap diri sebagai yang paling benar sedangkan doktrin orang lain salah, akan semakin memperbesar kemungkinan adanya perpecahan dalam masyarakat.

Pluralisme Agama: Sebuah Tantangan Pencarian Konvergensi
Adanya berbagai macam agama di dunia, khususnya di Indonesia, menantang kita untuk mencari sebuah konvergensi (titik temu) dalam membangun kebersamaan. Konvergensi ini sangat penting bagi terciptanya kesatuan. Di Indonesia, semangat membangun persatuan di tengah keberagaman ini sudah tertuang dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Dua faktor berikut ini kiranya dapat menjadi acuan bagi kita untuk mengetahui betapa pentingnya konvergensi agama:[3]
a. Pluralisme agama belum sepenuhnya dipahami umat beragama. Ada indikasi umum sikap ekslusifisme beragama, di mana seorang penganut agama merasa bahwa ajaran agamanya paling benar sedangkan agama lain salah dan tersesat sehingga harus diperangi dan kalau perlu dikonversikan kepada agamanya.
b. Di tengah pluralisme agama ini, banyak pemeluk agama tertentu cenderung memonopoli klaim kebenaran agama (claim of truth) dan klaim keselamatan agama (claim of salvation). Klaim kebenaran dan keselamatan ini secara sosiologis hanya akan memicu berbagai konflik sosial dan politik, serta memancing adanya “perang suci antaragama”.
Dari dua faktor tersebut, pencarian konvergensi agama-agama menjadi salah satu agenda yang sangat mendesak untuk diwujudkan. Dasar dari pencarian konvergensi ini, dalam Al-Quran tersurat secara tegas dan jelas dalam istilah kalimah sawa (titik temu, konvergensi): “Katakanlah: “Hai Ahli al-Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun....” (QS. Al-Baqarah/3:64).

Konsep Pluralisme Agama Nurcholis Madjid
Dilatarbelakangi oleh beragamnya agama yang berkembang di Indonesia, Nurcholis Madjid mencoba untuk mengungkapkan gagasan pluralismenya. Di tengah kemajemukan, heterogenitas dan keragaman agama di Indonesia ini, Nurcholis Madjid mencoba untuk menegaskan bahwa setiap agama harus terbuka terhadap setiap kebenaran agama yang lain; atau setidaknya mengakui adanya kebenaran di dalam agama lain. Ini diungkapkannya dalam tulisannya berjudul “Klaim Kebenaran”:
“Kita bisa merefleksikan: Apa yang bisa terjadi, jika agama menjadi tertutup dan penuh kefanatikan, lalu mengklaim kebenaran sendiri dan ‘mengirim ke neraka’ agama yang lain. Inilah yang menimbulkan problem, yang disebut dalam studi agama-agama sebagai ‘masalah klaim kebenaran’ (the problem of truth claim)”.[4]

Mendasarkan diri pada Al-Quran, Nurcholis Madjid mencoba mengkaji masalah klaim kebenaran ini secara lebih mendalam. Tanpa bermaksud mereduksi kebenaran yang diyakini oleh masing-masing agama, Nurcholis Madjid melihat kembali unsur-unsur yang telah ada dalam masing-masing agama, terutama agama Islam, yakni toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran. Landasan berbagai prinsip itu tertuang dalam berbagai nuktah ajaran Kitab Suci, bahwa Kebenaran Universal yang adalah tunggal, memungkinkan adanya manifestasi lahirnya keberagaman. Kebenaran Universal, sebagai kesatuan asal umat manusia, inilah yang menjadi tujuan setiap manusia yang beraneka ragam. Ia mendasarkan diri pada firman berikut:
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus” (QS. Al-Baqarah/2:213).

Pokok pangkal Kebenaran Universal yang tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tawhid. Manusia sejak dari semula keberadaannya menganut Tawhid yang dilambangkan dalam diri dan keyakinan Adam, yang oleh agama-agama Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) menganggapnya sebagai manusia pertama, nabi dan bahkan rasul pertama. Kesatuan asal dan Kebenaran Universal ini pada akhirnya mendasari pengakuan akan adanya pluralisme, di mana masing-masing agama tak bisa mengklaim kebenaran bagi agamanya sendiri.
Nurcholis Madjid mengakui bahwa berdasarkan paham Tawhid tersebut Al-Quran mengakui adanya kemajemukan keagamaan (religious plurality). Kemajemukan keagamaan ini menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para pengikut agama masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok. Sikap ini mengandaikan adanya harapan kepada semua agama yang ada, yakni karena semua agama itu pada mulanya berlandaskan kepada prinsip yang sama yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu akan menemukan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semua akan bertumpu pada satu “titik pertemuan” atau “kalimah sawa. [5]
Di atas telah disebutkan bahwa sikap tidak kita sembah kecuali Allah, sebagaimana tertuang dalam QS 3:64, menjadi dasar pencarian titik temu agama-agama. Dalam Islam, sikap ini disebut sebagai al-islam dalam arti sikap penyerahan diri kepada Allah. Ajaran al-islam ini menjadi inti dan saripati semua agama para nabi dan rasul, sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah:[6]
Oleh karena pangkal agama, yaitu al-islam, itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka Nabi s.a.w. bersabda dalam hadits shahih, “Kami, golongkan para nabi, agama kami adalah satu,” dan “Para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah lain ibu,” dan “Yang paling berhak kepada Isa putera Maryam adalah aku.”

Bagi Nurcholis Madjid, sikap al-islam merupakan satu-satunya sikap keagamaan yang benar, dan sikap selain al-islam merupakan sikap yang salah. Muhammad Asad, salah seorang penafsir al-Quran menegaskan demikian: “Dan barangsiapa menganut agama selain al-islam maka tidak akan diterima daripadanya, dan di akhirat dia akan termasuk mereka yang menyesal.”
Sejalan dengan pengertian al-islam di atas, A.Yusuf Ali, sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid, memberi komentar atas QS 3: 85[7] berikut ini:
Posisi seorang Muslim sudah jelas. Ia tidak mengaku mempunyai agama yang khusus untuk dirinya sendiri. Islam bukanlah sebuah sekte atau sebuah agama etnis. Dalam pandangan Islam, semua agama adalah satu (sama), karena Kebenaran adalah satu (sama). Ia adalah agama yang diajarkan oleh semua nabi terdahulu. Ia adalah kebenaran yang dikabarkan oleh semua kitab suci yang diwahyukan. Dalam esensinya, ia bertumpu kepada kesadaran akan Kehendak dan Rencana Tuhan serta sikap pasrah sukarela kepada Rencana dan Kehendak itu. Jika ada seseorang yang menghendaki agama selain hal serupa itu, maka ia tidak jujur kepada naturnya sendiri, sebagaimana ia tidak jujur kepada Kehendak dan Rencana Tuhan. Orang seperti itu tidak bisa diharap mendapat petunjuk, karena ia telah dengan sengaja meninggalkan petunjuk itu.

Dari beberapa hal di atas, kita semakin melihat bagaimana Nurcholis Madjid mendasarkan pemikiran tentang pluralismenya. Bagi Nurcholis Madjid, ’klaim kebenaran’ tidak dibenarkan. Semua orang dapat memperoleh keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik, tanpa memandang apakah ia keturunan Nabi Ibrahim atau bukan. Dari pengertian ini, adanya kemajemukan agama diakui keberadaannya tanpa memandang agamanya sebagai yang paling benar.
Sejalan dengan gagasan kemajemukan tersebut, Nurcholis Madjid juga mendasarkan pemikirannya tentang pluralisme pada konsep Islam tentang kebebasan beragama yang tertuang dalam Al-Quran: “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dari kesesatan. Barangsiapa menolak tirani dan percaya kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang dengan tali yang kukuh, yang tidak akan lepas, Allah Maha Pendengar dan Maha Mengetahui” (QS.al-Baqarah 2:256).[8]
Baginya, iman kepada Allah dan menentang tirani mempunyai prinsip logis dengan prinsip kebebasan beragama. Oleh karena itu, kebebasan beragama merupakan satu prinsip yang membuka pada suatu keterbukaan, dengan menyediakan ruang bagi agama lain. Ia merujuk pula kehidupan Nabi Muhammad yang menghadapi pluralitas agama saat ia hijrah ke Madinah.[9] Nabi Muhammad memberi contoh bagaimana mewujudkan salah satu cita-cita Islam dalam kehidupannya, yaitu persaudaraan umat manusia dalam iman kepada Allah. Oleh karenanya, Nurcholis Madjid menekankan bahwa semua orang, khususnya umat muslim membawa sebanyak mungkin manusia ke jalan Allah tanpa pemaksaan untuk menerima kebenaran dalam agamanya.[10] Kaum beriman diperintahkan untuk menerima pluralitas masyarakat manusia sebagai kenyataan, sekaligus tantangan.

Pluralisme Masyarakat Indonesia: Pancasila sebagai Kalimah Sawa
Pluralisme masyarakat di Indonesia menjadi dasar pijak pola pemikiran teologi pluralisme Nurcholis Madjid. Berhadapan dengan pluralisme masyarakat Indonesia, agama merupakan salah satu faktor dari pluralisme ini. Tentang pluralisme dalam masyarakat Indonesia ini, Nurcholis Madjid mengungkapkan:
“Salah satu ciri menonjol negeri kita adalah keanekaragaman, baik secara fisik maupun sosial budaya. Indonesia adalah negeri dengan heterogenitas tertinggi di muka bumi, berdasarkan kenyataan bahwa ia terdiri dari 13.000 pulau, besar kecil, dihuni dan tidak dihuni (atau, menurut perkiraan Angkatan Laut kita, 17.000 pulau). Dengan kelompok kesukuan dan bahasa daerahnya masing-masing yang jumlahnya mencapai ratusan, secara sosial-budaya negeri kita juga sangat heterogen. Demikian pula dari segi keagamaan. Sekalipun Islam merupakan agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang besar dari daerah ke daerah. Selain Islam, empat di antara agama-agama besar di dunia diwakili di negeri kita: Protestan, Katholik, Hindu dan Budha.”[11]

Bagi Nurcholis Madjid, sehubungan dengan heterogenitas dalam masyarakat Indonesia ini diperlukan sebuah titik temu antarkelompok yang dapat menyatukan dalam bingkai negara nasional, di mana terdapat kebebasan dalam mengembangkan keanekaragamannya untuk mengambil peran aktif dalam usaha-usaha mengembangkan masyarakat dan bangsa. Diskriminasi dalam masyarakat tidak dibenarkan karena setiap anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Dalam hal ini, menurut Nurcholis Madjid, Pancasila sebagai dasar negara merupakan salah satu bagian dari kalimah sawa atau titik temu antarkelompok masyarakat di Indonesia. Titik temu ini bukan sekedar bagaimana menyembah Tuhan Yang Maha Esa, melainkan mencari jalan keluar dan kompromi dalam konteks pluralitas yang bisa menjadi acuan untuk bersikap.
Pancasila sebagai titik temu antarkelompok di Indonesia, oleh Nurcholis Madjid diungkapkan sebagai berikut:
Perkara “kalimat persamaan” atau common platform bangsa ini, yaitu Pancasila dengan kelengkapan konstitusionalnya, kiranya sekarang sudah tidak ada masalah, antara lain berkat sikap-sikap yang tepat dari berbagai organisasi keislaman semisal NU dan Muhammadiyah. Hanya perlu kita ingat kembali bahwa masalah-masalah sekarang adalah bagaimana mengisi dan menjalankan Pancasila dan UUD 45 secara lebih baik dan konsisten. Mengingat bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, maka berarti terbuka lebar kesempatan semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanaannya.[12]

Secara teologis, dengan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip dalam Al-Quran di atas, penerimaan Pancasila sebagai ideologi final menjadi penjabaran yang tepat bagi pesan-pesan Tuhan dalam konteks negara Indonesia. Indonesia yang majemuk dan plural ini, bagi Nurcholis Madjid, menjadi suatu konteks berteologi yang mengilhaminya untuk mendekonstruksikan nilai-nilai dalam Islam di tengah bangsa Indonesia.

Penutup
Sejauh ini telah dibahas bagaimana Nurcholis Madjid mengungkapkan pandangannya tentang pluralisme. Secara khusus yang penulis bahas dalam paper ini adalah dasar-dasar yang digunakan Nurcholis Madjid dalam pemikirannya tentang pluralisme, yakni prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Quran dan agama Islam. Prinsip-prinsip itu kemudian dikaitkan dengan konteks masyarakat Indonesia yang plural dan majemuk, baik dari segi budaya, suku, wilayah, maupun agama.
Pencarian konvergensi agama dalam kerangka pemikiran pluralisme agama di Indonesia mendapatkan titik terang karena Indonesia telah mempunyai dasar kokoh sebagai ideologi yakni Pancasila. Pancasila ini oleh Nurcholis Madjid dianggap sebagai penjabaran yang paling tepat dalam upaya pencarian konvergensi itu. Dengan kata lain, Pancasila merupakan kalimah sawa yang menjadi titik temu antarkelompok yang ada di Indonesia.
Nurcholis Madjid mencoba memanfaatkan prinsip yang telah ada di Indonesia untuk mengungkapkan gagasannya tentang pluralisme dan upaya pencarian kalimah sawa. Akan tetapi pemikirannya tentang pencarian kalimah sawa tersebut seringkali masih bersifat subyektif. Kesan subyektif tersebut nampak dalam dasar-dasar yang digunakannya, yakni kecenderungan mengunggulkan agama Islam yang dianutnya dan memberi kesan negatif terhadap agama lain, terutama agama Kristen.
Kesan tersebut terlihat jelas dalam salah satu tulisannya tentang konsep Pluralisme Islam dengan mengacu pada sejarah perkembangan Islam di Spanyol, yakni saat Islam berkuasa di Spanyol selama 5 abad, suasana pluralis dapat berkembang. Sedangkan ketika raja-raja yang beragama Kristen mulai berkuasa di sana terjadi suasana monolitis, di mana terjadi ’pemaksaan’ untuk menganut agama yang sama, yakni Kristen. Acuan ini dapat mengarah pada sebuah diskursus beragamnya agama, seperti telah diungkapkan di atas.
Optimisme Nurcholis Madjid yang besar terhadap berhasilnya upaya pencarian kalimah sawa berhadapan dengan pluralisme di Indonesia juga cenderung terkesan subyektif. Menurutnya, optimisme itu didukung oleh dua hal mendasar, yakni: pertama, bagian terbesar penduduk Indonesia beragama Islam dan kedua, ideologi Pancasila yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Unsur pertama tersebut seolah-olah mengesampingkan agama lain, dengan pengandaian bahwa jika bagian terbesar penduduk Indonesia beragama non-Muslim, maka tak akan terjadi adanya keterbukaan terhadap agama lainnya.
Lepas dari kesan subyektif tersebut, pemikiran Nurcholis Madjid tentang pluralisme merupakan sumbangan besar bagi upaya membangun keterbukaan di tengah masyarakat Indonesia yang plural ini. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemerosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Burhani, Ahmad Najib,
2001 Islam Dinamis, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta

Departemen Agama RI,
1989 Al Quran dan Terjemahnya, Depag RI, Jakarta

Madjid, Nurcholis, Dr.,
1992 Islam Doktrin dan Peradaban, Penerbit Paramadina, Jakarta
1994 Pintu-pintu Menuju Tuhan, Penerbit Paramadina, Jakarta
2001 Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Paramadina dan Tabloid Tekad, Jakarta

Ridwan, Nur Khalik,
2002 Pluralisme Borjuis, Galang Press, Yogyakarta

Sukidi,
2001 Teologi Inklusif Cak Nur, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta
Catatan kaki:
[1] Nurcholis Madjid, “Islam di Indonesia: Masalah Kemajemukan” dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta 1992, hal.xviii.
[2] Bdk. Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta 2001, hal.3-4
[3] Bdk. Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta 2001, hal.3-5.
[4] Nurcholis Madjid, “Klaim Kebenaran” dalam Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Paramadina dan Tabloid Tekad, Jakarta 2001, hal.59-60
[5] Dr Nurcholis Madjid, ”Iman dan Kemajemukan” dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Penerbit Paramadina, Jakarta 1992, hal 184.
[6] Dr Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Idem, hal.182.
[7] QS 3:85: ”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
[8] Dr Nurcholis Madjid, ”Kebebasan Beragama” dalam Pintu-pintu Menuju Tuhan, Penerbit Paramadina, Jakarta 1994, hal.218-219
[9] Perjumpaan agama Islam dengan berbagai agama lainnya serta bagaimana konsep pluralisme dalam agama Islam dapat juga dibaca dalam: Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama, Kanisius, Yogyakarta 1989, hal.87-114
[10] Lihat QS 2:256 ”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah....”
[11] Dr Nurcholis Madjid, “Kata Pengantar: Ummat Islam Indonesia Memasuki Zaman Modern” dalam Islam Doktrin dan Peradaban, Ibid, hal.xlviii-xlix
[12] Sebagaimana dikutip oleh Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis, Galang Press, Yogyakarta 2002, hal.176