Rabu, 03 Desember 2008

Perbudakan di Zaman Modern

Bentuk Perbudakan Manusia
Zaman gini masih ada perbudakan!? Ungkapan ini mungkin sering kita lontarkan, atau pun terdengar di telinga kita. Sebuah ungkapan yang menyatakan ketidakpercayaan atau pun keraguan akan situasi yang terjadi di zaman modern ini, di mana masih dijumpai atau terjadi sebuah situasi ’perbudakan’.
Asumsi kita tentang ’perbudakan’ mungkin masih berkisar pada keadaan dimana sekelompok manusia diperlakukan secara tak/kurang manusiawi untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Atau dengan kata lain, hak-hak asasi manusia tak lagi mendapat tempat, tak dihargai. Situasi inilah yang masih terjadi di zaman ini, yang disebut-sebut sebagai zaman modern, di mana dunia sudah berubah dan berkembang sedemikian pesat, baik dalam teknologi maupun peradabannya.
Contoh konkret yang dapat kita lihat sebagai ’perbudakan’ ialah praktek perdagangan manusia. Dalam Penjelasan Umum Pasal 1.1, UU no.21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, disebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Tentunya ini sangat memprihatinkan, sebab praktek ini merupakan praktek manusia yang tak manusiawi. Perdagangan manusia merupakan tindakan jahat yang harus diakhiri dan tak boleh ada lagi di muka bumi ini, sebab bagaimana pun juga manusia sebagai makhluk bermartabat tinggi tak boleh direndahkan, dilecehkan, dihina dan diinjak-injak martabatnya.
Perdagangan manusia merupakan suatu tindakan jahat, yang sudah tidak dapat ditolerir lagi, sebab sangat merendahkan martabat manusia sampai serendah-rendahnya, bahkan menginjak-injak martabat itu sendiri. Ada pun motif dibalik perdagangan manusia itu tak lain adalah motif ekonomi, manusia dijadikan obyek transaksi ekonomi untuk mendapat sejumlah uang yang dapat mengisi kantong manusia yang tak manusiawi itu. Dengan kata lain, manusia tak lagi dilihat sebagai manusia yang bermartabat, melainkan dilihat sebagai barang, benda atau obyek yang dapat memberikan suatu keuntungan ekonomis. Betapa mengenaskan, manusia menjual sesamanya sendiri!

Allah Memanggil Kita untuk Solider
Lalu, apa yang bisa kita buat dalam menghadapi permasalahan ini? Dalam iman kita sebagai orang Kristiani, kita telah mendapatkan contoh yang amat sempurna, seorang yang begitu solider terhadap manusia, yakni Yesus sendiri. Yesus yang adalah Putera Allah begitu solider dengan manusia. Melalui penjelmaan-Nya menjadi manusia, Ia mewujudkan solidaritas-Nya kepada manusia. Dan, solidaritas-Nya yang paling agung ialah penderitaan dan wafat-Nya di salib.
Menurut Rm.Martin Sardi, OFM, ketua Pusat Studi HAM dan Demokrasi Universitas Atmajaya – Yogyakarta, kematian Yesus di salib dilihat dari perspektif HAM, merupakan drama tragedi HAM terbesar di dunia dan sepanjang sejarah. Penyaliban Yesus sebenarnya tak ada dasar hukum yang kuat untuk menyalibkan-Nya. Baik Hukum Romawi maupun Yahudi tak menemukan bukti dan alasan yang kuat untuk menyalibkan Yesus. Inilah bentuk solidaritas Allah kepada manusia, kini tugas kita melanjutkannya.
The International Office of Migration memperkirakan terdapat 250000 orang menjadi korban perdagangan manusia di dunia setiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sendiri menurut Konsorsium Perlindungan Buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) korban perdagangan manusia diperkirakan sebesar 1 – 1,5 juta dari 5 juta buruh. Angka yang amat menyedihkan, bukan!? Apa dan bagaimana reaksi kita melihat realitas ini? Apa yang dapat kita buat?
Sebagai anggota Gereja, di mana Kristus sendiri telah memberi contoh kepada kita, kita pun dapat melakukan yang sama. Paling tidak ada tiga bentuk aksi yang dapat dilakukan Gereja, yakni:
Tindakan Preventif, melalui pengajaran kepada umat agar bersikap kritis terhadap perdagangan manusia itu. Perjuangan manusia harus dikikis-habis, tak boleh merajalela di bumi ini. Orang kristiani harus berani bertindak untuk bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik dan berkompeten menangani dan memerangi perdagangan manusia.
Pendampingan terhadap korban perdagangan manusia, yang masih dalam kekuasaan mereka yang membeli dan mengeksploitasi mereka. Bila mengetahuinya, haruslah segera bekerjasama untuk sedapat mungkin berpartisipasi membebaskannya. Kalau tak mungkin, dan ada kontak dengan para korban, haruslah tetap menjalin relasi yang baik, mendampinginya dan berusaha sekuat tenaga dan dijalin pula relasi dengan orang-orang yang berkompeten dan berkuasa untuk membebaskannya.
Bila menemukan korban perdagangan manusia, haruslah tetap didampingi secara pastoral yang utuh. Korban tidak boleh dibuang, ditolak, atau disingkirkan dari keluarga dan masyarakatnya. Pendampingan pasca menjadi korban perdagangan manusia adalah pengalaman yang pahit, dan getir sekali. Pastoral terhadap mereka haruslah sungguh dengan penuh kasih dan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat.
Tindakan solidaritas ini merupakan perealisasian iman akan Yesus Kristus, yang juga bersolider dengan manusia. Maka, marilah kita memulai tindakan solidaritas ini sebagai wujud kita memerangi perbudakan di zaman modern ini! Semoga!
(Disarikan dari hasil ”Seminar Perbudakan Di Zaman Modern”,
Syantikara, 25 November 2007)
* Pernah dimuat di Nuntius, Januari 2008

Mengapa Manusia Menderita? Sebuah Analisis Filosofis

I. Pendahuluan
Setiap hari dalam kehidupan, kita mengalami berbagai peristiwa, entah menyenangkan, menyedihkan, atau pun biasa-biasa saja. Kita sering menyebut peristiwa-peristiwa itu sebagai pengalaman. Berbagai macam pengalaman itu mungkin mempunyai arti masing-masing dalam hidup kita, dan bahkan dapat mempengaruhi hidup kita.
Lepas dari ruang lingkup yang amat luas tentang pengalaman, dalam makalah ini kita akan melihat tiga hal yang sering dijumpai atau pun didengar dalam kehidupan kita, yakni penderitaan, kejahatan, dan kematian. Maka untuk dapat masuk dalam pengertian itu, dalam makalah ini akan kami bahas pengertian serta pandangan beberapa tokoh akan ketiga hal itu. Dari pembahasan itu, kita akan mencoba mencari titik temu ketiga hal itu dalam kaitannya dengan pengalaman manusia. Kita akan mencoba menjawab pertanyaan ini: Apakah penderitaan, kejahatan, dan kematian itu merupakan pengalaman kita sebagai manusia?

II. Pengertian Pengalaman
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata pengalaman, bahkan kita tak hanya mendengar kata itu, hidup kita justru tak lepas dari apa yang disebut pengalaman. Ada bermacam pengalaman yang kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari, perjumpaan dengan seorang gadis, pengalaman menderita suatu penyakit, menyapa orang lain, bahkan keberadaan kita saat ini pun sudah merupakan bagian dari pengalaman.
Dalam bahasa Inggris, pengalaman disebut experience, dan dalam bahasa Latin, experientia, experire, yang berarti mencoba atau mengusahakan. Istilah ini dipakai untuk menunjuk pada informasi yang diperoleh dari pancaindera dan bukan dari akal. Pengertian ini dapat dirinci sebagai:
1. Mengalami peristiwa, perasaan, emosi, penderitaan, kejadian, keadaan kesadaran. Indera kita memperoleh rangsangan. Oleh karena itu, kita mengatakan bahwa kita mempunyai suatu pengalaman karena kita telah melihat atau mendengar atau mencicipi, dsb.
2. Hasil penginderaan ditambah tanggapan.
3. Pengetahuan yang muncul dari kegiatan pribadi, praktek dan keterampilan praktis.
4. Kemampuan atau bakat untuk menjalankan sesuatu yang muncul dari peristiwa yang dialami dan ditanggapi oleh indera kita.
5. Pemahaman langsung terhadap orang atau benda-benda tertentu. Bukan pemahaman melalui buku atau pun hasil permenungan, karena pengalaman merupakan hasil dari kontak langsung dengan alam (manusia dan objek-objek lainnya).

III. Penderitaan dan Kejahatan
Dalam berbagai pandangan filsuf, penderitaan dan kejahatan merupakan dua hal yang mempunyai kesejajaran. Oleh karena itu, kedua hal ini akan dibahas dalam satu kesatuan. Ada berbagai pandangan dari para tokoh tentang penderitaan dan kejahatan. Penderitaan dan kejahatan selalu diperlawankan dengan kebaikan. Maka untuk bisa memahami arti dan makna penderitaan dan kejahatan, kita perlu memahami terlebih dahulu arti dan makna kebaikan.
a. Kebaikan: Arti dan Makna dalam Yang-Ada
Kebaikan merupakan bentuk praktis dari intensionalitas, yakni soal pengarahan diri subyek menuju obyek. Dengan kata lain, kebaikan merupakan suatu titik tujuan yang akan dicapai oleh yang-ada. Kebaikan merupakan salah satu aspek transendental dari intensionalitas.
Menurut sifatnya, semua yang-ada itu baik. Untuk memahami hal ini perlu dibedakan pengertian kebaikan secara moral dan ontologis. Dalam pengertian moral, kebaikan adalah segala tindakan bebas yang kita lakukan sejauh sesuai dengan norma moral. Sedangkan dalam pengertian ontologis, kebaikan ialah realitas itu sendiri sejauh memiliki kesempurnaan tertentu, nilai tertentu dan kegunaan aktual tertentu.
Semua yang-ada adalah baik. Namun ini bukan berarti kebaikan yang tanpa batas, seolah-oleh segala segi baik. Hanya kebaikan yang tak terbataslah yang memiliki kebaikan sempurna, sehingga dalam kebaikan yang sempurna ini tak ada yang-jahat dan yang-buruk. Lain halnya dangan setiap yang-ada yang mempunyai hakekat dan struktur terbatas. Maka kebaikan dalam yang-ada itu juga terbatas dan mempunyai tingkat kebaikan tertentu.
b. Penderitaan dan Kejahatan
i. Pengertian Umum
Dalam pembahasan tentang kebaikan di atas, kita mengetahui bahwa jika sesuatu itu berada, itu sudah merupakan kebaikan. Dari pengertian ini, kita dapat memahami bahwa penderitaan dan kejahatan bukanlah sesuatu yang positif. Penderitaan dan kejahatan merupakan suatu privasi, yakni kurangnya kebaikan atau kesempurnaan dalam sesuatu yang dapat dan semestinya ada. Sebagai contoh, bagi seseorang tidak dapat melihat merupakan suatu penderitaan. Atau, tidak jujur merupakan kejahatan moral.
Secara umum dapat dikatakan bahwa penderitaan, kejelekan, kejahatan, ketidakbaikan ialah tidak-adanya yang semestinya ada. Oleh karena itu penderitaan, kejelekan, kejahatan, ketidakbaikan bukanlah suatu negasi, namun sebuah privasi. Privasi ini hanya mungkin terjadi dalam realitas positif. Misalnya, sebuah piring retak atau pecah.
ii. Manusia sebagai Subyek Penderitaan dan Kejahatan
Mengapa manusia dikatakan sebagai subyek penderitaan dan kejahatan? Manusia dikatakan sebagai subyek penderitaan dan kejahatan mempunyai tiga makna, yakni: pertama, hanya manusia yang mampu berbuat jahat, yang lain tidak. Kedua, hanya manusia yang bisa menunjuk, mengungkapkan penderitaan, kesengsaraan. Ketiga, tidak ada penderitaan dan kejahatan dalam dunia kalau manusia tidak ada.
Secara lebih konkrit bisa dijelaskan demikian. Keadaan alam dapat dilihat sebagai bencana atau penderitaan oleh makhluk berakal budi dan berkehendak bebas (ingat: manusia mempunyai kebebasan – red). Makhluk berakal budi akan merasakan keadaan alam itu sebagai kejahatan yang menyentuh inti kehidupannya, karena hanya manusialah yang mampu mengungkapkan dan merasakan bencana fisik sebagai penderitaan baginya. Bencana alam seperti gempa bumi, gelombang pasang, tsunami, kekeringan, banjir, dsb sebenarnya tidak jahat atau buruk. Semua itu merupakan gerakan normal hukum alam yang sudah semestinya. Semua itu menjadi bencana kalau menimpa manusia sehingga ia merasakan penderitaan.
Demikian juga dengan kejahatan. Manusia merasakan kejahatan sebagai hal yang bertentangan dengan keinginan kodratnya. Maka berhadapan dengan kejahatan moral, manusia merasa dirinya sebagai manusia yang direndahkan. Ia merasa tidak enak dan rendah karena perbuatan jahat orang lain. Ia juga merasa kurang manusiawi kalau menimbulkan penderitaan atau kejahatan pada orang lain.
c. Pandangan Para Tokoh
Ada begitu banyak pendapat para tokoh tentang penderitaan dan kejahatan. Kendati begitu, kami hanya akan memaparkan pendapat beberapa tokoh saja (sebagai mahasiswa yang baik, tentunya Anda akan kreatif dalam mencari sumber bahan yang ada - red).
i. Plato (427-347 SM), Plotinos (204-269)
Manusia dan dunia walaupun material, tetaplah berpartisipasi pada idea-idea (Plato) atau berupa emanasi To Hen (Plotinos). Berkaitan dengan sengsara dan kejahatan, materilah penyebabnya; sedangkan segala yang bersifat rohani otomatis bersifat harmonis (benar dan baik). Kejahatan materi terletak pada kemampuannya untuk memesonakan diri pada manusia, sehingga orang lupa akan harmoni kerohanian yang nyata. Kekurangan ataupun dosa dalam manusia terletak pada bagian-bagiannya yang lebih rendah; dan harmoni dapat direbut kembali dengan jalan membersihkan diri dari bagian-bagian itu.
ii. Agustinus (354-430)
Sebagaimana pendapat Plato bahwa segala sesuatu adalah baik, Agustinus pun memandang demikian. Setiap yang-ada itu diadakan dan dibiarkan ada karena diinginkan dan dikehendaki. Objek dari kehendak adalah kebaikan, yang berarti pula bersifat positif. Maka penderitaan pun selalu mempunyai tujuan yang baik. Penderitaan dapat menguji kesetiaan orang yang saleh dan menghukum kejahatan orang yang berdosa. Sementara itu, malum (keburukan) bersifat negatif, tidak diinginkan dan tidak diciptakan. ”Malum est privatio boni.” Artinya, keburukan adalah kekurangan dari kebaikan.
iii. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
Hegel memandang penderitaan dalam konteks penderitaan yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis, yakni adanya berbagai kesedihan moral setiap orang. Ia memandang bahwa penderitaan mempunyai peran juga dalam sejarah. Dengan adanya pengalaman penderitaan akan muncul kesadaran akan pentingnya perdamaian dunia seluruhnya. Dari kesadaran ini akan lahir berbagai usaha teoretis dan praktis. Tidak akan ada ide untuk mengatur kehidupan bersama yang damai, kalau tidak ada perang dan ketidakadilan.
iv. Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955)
Ia adalah seorang imam Yesuit yang mengalami ’pengasingan’ oleh Gereja dan tarekat karena gagasan-gagasannya yang dianggap menyimpang dari iman Gereja. Ia adalah seorang profesor geologi di Paris. Ia tidak menutup mata terhadap penderitaan karena ia sendiri mengalami penderitaan dari Gereja dan tarekatnya. Pemikirannya tentang penderitaan bercorak evolusionistis. Bencana, penyakit, sengsara, dan dosa merupakan kegagalan-kegagalan dalam proses evolusi yang tak bisa dihindarkan. (Sumber lain mengatakan sebagai sampah evolusi: disharmoni pada makhluk hidup dan kesadaran akan dosa yang memiliki kebebasan). Penderitaan adalah efek samping dari sebuah universum yang sedang berevolusi menuju keharmonisan.
Dari pendapatnya, dapat diambil dua hal penting tentang penderitaan. Pertama, melihat penderitaan sebagai sampah yang tak terelakkan dalam perkembangan evolusi. Untuk maju ke tahapan yang lebih tinggi, harus ada yang dipangkas dan ditinggalkan. Yang harus dipangkas dan ditinggalkan adalah elemen-elemen yang tak dapat dipadukan ke dalam perkembangan selanjutnya. Maka penderitaan adalah harga yang mesti dibayar agar ada perkembangan. Kedua, terletak usaha untuk mengusahakan perkembangan. Penderitaan merupakan pengalaman yang menyadarkan kita akan keterpisahan yang masih mewarnai jalan kita, sehingga mendorong kita untuk mewujudkan keharmonisan dan persatuan. Maka penderitaan merupakan sebuah pengalaman berharga dan sekolah yang mesti dimanfaatkan demi perwujudan kesatuan.
v. Hinduisme
Dalam Hinduisme terdapat beberapa pemikiran pokok yang menjadi pilar Hinduisme, yakni:
1. Karma yakni prinsip yang mengatur segala sesuatu di dunia yang menjadi, yang menjelaskan bahwa segala sesuatu mempunyai sebab-akibat.
2. Samsara: prinsip yang mengatur secara lebih rinci tanggungjawab yang mesti dipikul setiap manusia atas tindakannya sesudah kematiannya. Kalau hidup di dunia penuh dengan kejahatan, maka ia akan mengalami dukkha, yang selalu dikaitkan dengan penderitaan, rasa sakit dan kejahatan.
3. Moksha: pembebasan dari karma dan samsara. Pembebasan itu dapat terjadi melalui moksha atau kelepasan yang sempurna, yakni saat atman atau individu manusia, mencapai brahman, yakni yang ada, being. Atman merupakan bagian dari brahman. Orang akan menyadari kesatuannya dengan brahman melalui dharma atau perbuatan-perbuatan baik.

IV. Kematian
a. Pengertian
Arti kematian di bawah ini akan kami ambil dari tiga tokoh dalam jaman modern yaitu:
1. Martin Heidegger : Menuju Kematian
Proses kematian adalah cara berada yang diterima manusia segera setelah kelahirannya. Kematian bukan hanya merupakan urusan di masa yang akan datang tetapi selalu hadir pada setiap saat sekarang. Maka saat sekarang harus dipahami sebagai satu titik dalam proses kematian. Dan dalam hal ini baginya kita harus menghadapi kematian sebagai suatu kemungkinan yang nyata, sehingga perlu sadar untuk mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh. Dengan demikian manusia akan menemukan dirinya yang utuh.
2. Jean Paul Satre
Satre melihat kehidupan tidak bertolak dari kematian tetapi justru ia memandang kematian bertolak dari kehidupan. Dia dengan keras menolak pandangan Heidegger yang mengatakan bahwa hidup merupakan persiapan menuju kematian. Bagi Satre, kematian adalah melulu kenyataan yang menimpa manusia dengan tiba-tiba dan buta sehingga kita tidak akan pernah mampu memahami dan mengontrolnya. Kematian merupakan peristiwa yang datang tanpa waktu dan dengan kejam menerobos kehidupan manusia selagi manusia sendiri sedang merencanakan hidup selanjutnya dan berusaha mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya.
3. Karl Jaspers : Kematian sebagai pemenuhan
Menurut Jaspers, manusia terus-menerus terlibat di dalam pelbagai krisis yang membawanya kepada situasi perbatasan di dalam pengalaman yang menakutkan-dari kenyataan perjuangan, penderitaan dan dosa yang tak dapat dihindari. Manusia selalu diancam oleh pengalaman akan nasib yang tak dapat diubah terutama di dalam kematian dari orang tercinta atau di dalam kesadaran akan kematiannya sendiri.
b. Pandangan tentang Kematian
Kematian adalah kenyataan yang pasti dan bagian yang integral dalam kehidupan manusia. Namun terkadang terjadi bahwa kita sangat sulit untuk merenungkan dan membahas kenyataan kematian ini. Para filsuf pun hanya sedikit yang membahas panjang lebar mengenai kematian ini.
Kita akan melihat adanya dua pandangan yang berbeda mengenai kematian. Pandangan pertama menyatakan bahwa kematian adalah suatu hal yang menakutkan dan pandangan lain menyatakan bahwa kematian adalah satu hal yang tidak perlu ditakuti pun seandainya kematian diterima dan dialami sebagai kebinasaan total. Pandangan kedua inilah yang mau kita lihat dari pandangan beberapa tokoh berikut ini.
1. Epicurus dan pengikut-pengikutnya
Menurut Epicurus dasar dari ketakutan akan kematian adalah keyakinan bahwa kematian merupakan puncak penderitaan atau rasa sakit, dan bahwa jiwa tetap hidup untuk merasakan sakit atau siksaan yang hebat itu setelah kematian. Ia menolak pandangan ini karena baginya kematian adalah hilangnya kesadaran. Dengan hilangnya kesadaran, hilang pula rasa sakit yang dialami sebelum kematian. Kematian bagi Epicurus tidak berbeda dengan tidur, maka tidak perlu ditakuti.
2. Para Stoics
Seneca mengatakan bahwa untuk mengatasi ketakutan akan kematian kita harus memikirkannya terus menerus. Caranya adalah dengan mengingatkan diri bahwa kita adalah bagian dari alam dan harus menerima diri sesuai dengan peranan yang diberikan kepada kita.
3. Spinoza
Spinoza mengatakan “seorang yang merdeka tidak memikirkan sesuatu yang kurang dari kematian dan kebijaksanaannya tidaklah terletak di dalam permenungannya atas kematian tetapi di dalam permenungannya atas kehidupan”.

c. Proses Kematian
Kita harus tahu bahwa kematian merupakan suatu hal atau kenyataan yang dekat dengan manusia. Dalam hidupnya, manusia selalu dilingkupi akan adanya kematian. Kematian ada setelah manusia itu mengalami kelahiran atau kehidupan. Rupanya kematian dapat dilihat dari proses-proses yang mendahuluinya. Namun harus diingat bahwa hal ini bukanlah suatu proses yang sama pada semua orang, toh kita juga dapat melihat ada banyak orang yang meninggal secara mendadak, melalui kecelakaan misalnya.
Di bawah ini adalah tahap-tahap di mana orang akan menghadapi kematian, yaitu:
Tahap pertama : Menyangkal dan menyendiri
Tahap kedua : Marah
Tahap ketiga : Tawar menawar
Tahap keempat : Depresi
Tahap kelima : Menyerah dan pasrah
d. Saat Kematian
Saat manakah orang dikatakan mengalami kematian? Penentuan yang secara sepintas mudah, ternyata tidaklah mudah untuk dipastikan. Awalnya manusia menyatakan bahwa bila organ manusia yaitu paru-paru dan jantung tidak lagi berfungsi dengan semestinya, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut sudah tidak bernyawa lagi. Inilah yang disebut dengan kematian klinis. Namun pada abad-abad ini muncul istilah kematian biologis yang menyatakan bahwa saat kematian adalah saat di mana otak sudah kehilangan fungsinya secara permanen dan tidak dapat dihidupkan kembali. Kematian ini bersifat definitif: kehilangan fungsi-fungsi vital dan rusaknya semua organ dan jaringan yang tidak dapat direparasi lagi.

V. Penutup
Pengalaman penderitaan, kejahatan, dan kematian tak pernah jauh dari hidup kita sebagai manusia. Dalam pembahasan mengenai masing-masing hal tersebut, kita sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan di atas (dalam pendahuluan-red). Tanpa memperpanjang pembahasan, kita dapat menyimpulkan bahwa penderitaan, kejahatan, dan kematian merupakan bagian dari pengalaman manusia. Manusia sebagai subyek dari ketiga hal itu yang secara langsung mengalaminya. Demikian juga dengan pengalaman, yang selalu terkait dengan subyek yang mengalaminya. Penderitaan, kejahatan, dan kematian sebagai pengalaman sejauh manusia mengalami, merasakan, dan menyadarinya.

Sumber Acuan:
Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta 1996
Bagus, L., Metafisika, Gramedia, Jakarta 1991
Bakker, A., Ontologi Metafisika Umum, Kanisius, Yogyakarta 1992
Budi Kleden, SVD, P., Membongkar Derita, Ledalero, Maumere 2006
Leahy, Louis, Manusia sebuah Misteri, Gramedia, Jakarta 1984
Van der Weij, P.A., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terjemahan oleh K.Bertens, Kanisius, Yogyakarta 1998

* Bahan Presentasi Matakuliah Filsafat Manusia - FTW 2008

Ketaatan Yesus: Inspirasi Hidup Menggereja


I. PENDAHULUAN
Dalam seluruh rangkaian hidup dan karyaNya, Yesus telah memberikan model ketaatan total kepada BapaNya, yang berpuncak pada kematianNya di kayu salib. Yesus sebagai Putera Allah rela menjadi manusia dan rela menderita sengsara untuk menebus dosa-dosa manusia. Karena ketaatanNyalah, Bapa meninggikanNya melebihi segala makhluk. Setelah wafatNya, Bapa membangkitkanNya dan mengenakan kembali kepadaNya kemuliaan Allah.
Ketaatan Yesus ini seharusnya menjadi model ketaatan Gereja saat ini dalam tugas perutusan untuk melanjutkan karya keselamatan Allah. Gereja kini diutus untuk melanjutkan karya keselamatan itu dalam hidupnya. Dalam perjalanan hidupnya, Gereja tak sendirian karena Allah telah mengutus RohNya untuk mendampingi Gereja.
II. KETAATAN YESUS DALAM HIDUP DAN KARYA-NYA
a. Lahir sebagai Manusia
Ketaatan Yesus kepada Bapa pertama-tama tampak nyata saat kelahiranNya menjadi manusia. Peristiwa ini yang selanjutnya disebut sebagai peristiwa inkarnasi, yang dalam Injil Yohanes (1:14) dikatakan: “Firman telah menjadi manusia”. Peristiwa ini ditegaskan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, yang menyatakan bahwa Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:7).
Secara historis peristiwa kelahiran Yesus secara lengkap dikisahkan oleh Injil Matius dan Lukas. Mulanya malaikat Allah (Gabriel) diutus Allah untuk menyampaikan kabar sukacita kepada Maria, seorang perawan yang telah bertunangan dengan Yusuf, bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang juruselamat. Karena imannya akan Allah, Maria menerima tugas perutusannya itu dan turut ambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
Peristiwa-peristiwa di sekitar kelahiran Yesus pun dapat kita lihat sebagai acuan bagaimana ketaatan Yesus itu terwujud. Ini dapat kita lihat dalam proses kelahiranNya yang amat sederhana. Ia lahir di sebuah palungan (lih. Luk 2:7). Selain itu beberapa hari sesudah kelahiranNya, Ia pun harus menghadapi penolakan oleh bangsaNya, melalui kebijakan pemerintahan Herodes yang menghendaki agar semua bayi laki-laki yang baru lahir dibunuh. Ini terutama dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Herodes akan kekuasaannya. (Mat 2:13)1.
Dari peristiwa ini nyatalah perkataan Paulus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:7). Karena ketaatanNya kepada Bapa-lah Yesus sudi lahir menjadi seorang manusia.
b. Karya Yesus: Mewartakan Kerajaan Allah
Selanjutnya ketaatan Yesus kepada Bapa dapat dilihat dalam keseluruhan karya-Nya. Ia sendiri menyatakan, “makananKu ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaanNya” (Yoh 4:34). Konsekuensi dari ketaatanNya ini tercermin dalam seluruh pewartaanNya.
Satu-satuNya program hidup Yesus adalah mewartakan Kerajaan Allah. “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Tema “Kerajaan Allah” (Basilea) tidak khas hanya untuk Yesus. Para nabi atau guru Yahudi pada waktu itu juga mengajarkan tema Kerajaan Allah ini. Yang khas pada Yesus adalah bahwa tema Kerajaan Allah itu menjadi satu-satunya pewartaan dan proyek hidup Yesus2.

Berulang kali Yesus mengatakan bahwa Ia harus melaksanakan kehendak Bapa. Telah dikatakan dalam Surat kepada Jemaat Ibrani bahwa seluruh hidup Yesus, dari awal sampai akhir hidupNya, dipandang dari sudut pandang pelaksanaan kehendak Bapa: “kurban dan persembahan........tidak Engkau kehendaki.....dan kemudian Ia berkata, sungguh Aku datang untuk melakukan kehendakMu” (Ibr. 10:8-9). Bapa menghendaki keselamatan dan penebusan manusia yang berarti datangnya Kerajaan Allah3.

III. KETAATAN YESUS DALAM PERISTIWA SALIB
Ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa secara total berpuncak pada peristiwa salib, yakni sengsara, wafat, dan kebangkitanNya. Dari peristiwa salib ini kita dapat melihat bagaimana ketaatan Yesus itu terwujud.
a. Sengsara Yesus
Pada seluruh peristiwa sengsaraNya, ketaatan Yesus juga nampak pada pergulatanNya di Taman Getsemani. Di sana Ia berdoa, “Biarlah cawan ini lalu dari padaKu” (Mat 26:39). ‘Cawan’ dalam Perjanjian Lama sering diartikan sebagai murka Allah atau pun hukuman yang harus ditanggung manusia. Ini agak berbeda dengan pengertian ‘cawan’ yang harus ditanggung Yesus. Kata ‘cawan’ ini mengacu pada sengsara yang akan memuncak dalam kematianNya. Diartikan pula sebagai lambang peperangan dahsyat yang timbul pada saat si jahat dikalahkan oleh Kerajaan Allah dalam diri Yesus. Dalam peristiwa Getsemani ini, Yesus dihadapkan pada pilihan hidup-matiNya. Oleh karena ketaatanNya, akhirnya Ia sampai pada keputusan final untuk menerima ‘cawan’ itu dengan berkata, “Jadilah kehendakMu” (Mat 26:42)4.
b. Wafat Yesus
Konsekuensi akhir ketaatan Yesus pada kehendak Bapa adalah kematianNya di kayu salib. Inilah “cawan” yang harus Ia minum, berupa ‘hukuman’ mati di salib. Hukuman mati di salib bagi pemerintahan Romawi saat itu adalah suatu kehinaan, yang hanya diberikan kepada para penjahat. Bagi pemerintahan Romawi dan orang Yahudi, Yesus merupakan penjahat karena Ia dianggap sebagai pemberontak dan penghojat Allah (lih. Mrk. 11:15-19 dan 14:62-64).
Namun demikian, Yesus dengan rela menerima konsekuensi ini sebagai bagian dari pewartaanNya serta ikhtisar dan ringkasan dari seluruh pewartaanNya. WafatNya menjadi bagian dari pewartaan Kerajaan Allah sendiri, bahkan menjadi isi dari kedatangan Kerajaan Allah itu sendiri. “Kematian Yesus adalah bentuk perwujudan Kerajaan Allah, di mana Kerajaan Allah tampak dalam ketidakberdayaan, kemuliaan dalam kehinaan, kekayaan dalam kemiskinan, kasih dalam kesepian yang ditinggalkan, kepenuhan dalam kekosongan, kehidupan dalam kematian”5.
Dari sini kita dapat melihat bagaimana perwujudan ketaatanNya secara total kepada Bapa yang Ia ungkapkan melalui wafatNya di kayu salib. Ia menyerahkan hidupNya di dunia sepenuhnya kepada Bapa, sampai akhirnya Ia berkata “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (Luk. 23:46).
c. Kebangkitan Yesus
Kebangkitan merupakan jawaban Bapa terhadap penyerahan total diri Yesus. Bapa menjawab penyerahan diri Yesus itu dengan membangkitkanNya dari antara orang mati. Peristiwa ini menjadi pokok dan sumber penyelamatan dunia6. Melalui kebangkitan, Allah meninggikanNya mengatasi semua makhluk, hingga seluruh ciptaan sujud di hadapanNya seperti kepada Allah (lih. Flp. 2:8-11).

IV. RELEVANSI KETAATAN YESUS DALAM GEREJA SAAT INI
Roh Kudus Diutus untuk Mendampingi Gereja dalam Melanjutkan Karya Yesus
Setelah kebangkitanNya, beberapa kali Yesus menjumpai murid-muridNya. Salah satu dari peristiwa ini dapat kita lihat saat penampakanNya kepada para muridNya yang masih ketakutan (Lih. Yoh 20:19-23). Saat itu terjadi peristiwa penting, di mana Yesus mengutus para muridNya. “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”. Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus” (Yoh 20:21-22). Inilah perutusan yang diberikan kepada para murid, yaitu perutusan yang satu dan sama. Dan dalam perutusan itu, Yesus telah menghembuskan RohNya sendiri7.
Peristiwa itu dapat kita lihat sebagai peran Roh Kudus dalam Gereja. “Karya Roh Kudus dalam Gereja ialah mengingatkan Gereja akan peristiwa Yesus Kristus, dalam arti biblis Anamnese yaitu penghadiran secara nyata, kini dan di sini, dari peristiwa keselamatan Allah dalam Kristus”8. Roh Kudus senantiasa mendampingi Gereja dalam meneruskan karya Yesus, yakni melakukan kehendak Allah.
Roh Kudus tidak pernah hadir demi diriNya sendiri. Roh Kudus hadir karena diutus oleh Allah. Roh Kudus diutus oleh Bapa dalam nama Kristus untuk “mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 14:26)9. Roh Kudus itu tidak lain adalah Allah sendiri yang berkarya di dunia dan di dalam Gereja. Roh Kudus menjadikan diri kita sebagai anak-anak Allah10, sehingga kita mengikuti Keputeraan Yesus Kristus11. Maka tugas dan perutusan kita (Gereja) saat ini adalah melaksanakan kehendak Allah dalam hidup kita, sebagaimana telah dilaksanakan oleh Yesus sendiri.
V. PENUTUP
Tugas perutusan Gereja saat ini adalah melaksanakan kehendak Allah dalam hidup. Gereja yang dipanggil sebagai anak-anak Allah turut berpartisipasi dalam Keputraan Yesus Kristus, yang telah memberikan teladan sempurna dalam ketaatan sebagai seorang anak. Model ketaatan Yesus ini yang seharusnya menjadi cara Gereja dalam melaksanakan kehendak Allah.


CATATAN AKHIR

[1] bdk. E.Martasudjita, Pr., Mencintai Yesus Kristus, Kanisius, Yogyakarta 2001, 60.
2 E.Martasudjita, Pr., Mencintai Yesus Kristus, 77.
3 bdk. C. Van Paassen SCJ, Komentar Konstitusi SCJ: Ketaatan Yesus, seperti dikutip Suharjono, Taat Kepada Kristus dan Taat Seperti Kristus: Refleksi Kaul Ketaatan dalam Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ), Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2007, 26.
4 bdk. St.Leks, “Kisah Sengsara Yesus Versi Matius: Yesus Berdoa di Getsemani (II)”, Hidup, ( ), 24 Maret 1999, 11.
5 E. Martasudjita, Pr., Mencintai Yesus Kristus, 101-102.
6 bdk. E. Martasudjita, Pr., Mencintai Yesus Kristus, 125-127.
7 bdk. G. Tisera, SVD, Firman Telah Menjadi Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1992, 113.
8 E.Martasudjita, Pr., Makna dan Peran Roh Kudus dalam Hidup Kristiani, Kanisius, Yogyakarta 1998, 43.
9 E.Martasudjita, Pr., ”Kehidupan Kristus di Tengah Umat Manusia Zaman ini”, Orientasi Baru, Vol. 13, ( ) 2000, 115.
10 Santo Paulus mengajarkan kepada kita: “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru “Ya Abba, ya Bapa!” (Rm 8:15)
11bdk. E.Martasudjita, Pr., Pengantar Iman Kristiani, Pro-Manuskripto, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 2007, 54.


(Artikel ini merupakan ringkasan Matakuliah Mysterium Christi - FTW)

Anno Domine

Hai para Blogger!

Selamat bergabung dengan "Anno Domine"

Anno Domine merupakan salah satu dari sekian banyak blog yang ada di dunia maya ini.

Lalu, apa yang lain dari blog ini?

Dalam Anno Domine ini kamu akan dapat membaca beberapa artikel ilmiah yang berkaitan dengan soal filsafat, sosial, maupun teologi.

Maka silahkan