Senin, 15 Juni 2009

Konsep Iman Wahyu Budhisme

Konsep Wahyu-Iman dalam Buddhisme

Latar Belakang
Sebagai seorang mahasiswa teologi, yang notabene merupakan calon pemimpin dalam agama, kiranya penting untuk memiliki pandangan yang luas tentang berbagai hal. Salah satu hal yang mendesak untuk dimiliki adalah pemahaman terhadap agama-agama lain, terlebih berhadapan dengan konteks nyata Bangsa Indonesia yang plural dalam berbagai hal, khususnya bermacam agama yang dianut oleh para warga Negara Indonesia. Pemahaman terhadap agama-agama lain ini diharapkan akan semakin membuka cakrawala yang lebih luas sehingga pada akhirnya tumbuh sikap keterbukaan terhadap penghayatan agama lain. Keterbukaan inilah yang akan dapat semakin membuka peluang terjalinnya hubungan harmonis antar pemeluk agama.
Dilatarbelakangi oleh optimisme akan terciptanya suatu hubungan harmonis di Indonesia inilah penulis mencoba membuka wawasan dalam pemahaman salah satu agama di Indonesia, yakni Buddhisme. Melalui tulisan ini, penulis mencoba melihat bagaimana konsep wahyu dan iman dalam Buddhisme. Tentunya pemahaman wahyu dan iman dalam Buddhisme ini tidak penulis lihat sebagaimana pemahaman wahyu-iman dalam agama Kristiani, agama yang penulis imani karena perbedaan kategori-kategori yang dipergunakan antar kedua agama tersebut. Sedapat mungkin penulis berusaha untuk memahami pemahaman wahyu-iman dalam konteks Buddhisme.

Konsep Wahyu dalam Buddhisme
Konsep wahyu dalam Buddhisme tak bisa dilepaskan dari pengalaman pencerahan yang dialami oleh Pangeran Siddharta Gautama (yang kelak disebut sebagai Sang Buddha). Pangeran Siddharta lahir sekitar tahun 560 SM[1] di lereng Himalaya. Legenda kelahiranNya mengisahkan bahwa kelahiranNya di dunia ini sudah dipersiapkan secara khusus dengan berbagai peristiwa ajaib yang menunjukkan keistimewaanNya. Raja Suddhodaba yang telah menikah selama 20 tahun belum mempunyai keturunan. Siddharta lahir dari Surga Tushita dan masuk ke rahim ibunya, Dewi Mahamaya dalam rupa gajah putih. Sepuluh bulan kemudian Ia dilahirkan secara khusus. Semuanya merasa bahagia, bahkan langit dan bumi pun seolah-olah ikut menyambutNya. Siddharta lahir bersih, suci, tanpa noda. Air mengalir dari langit membersihkan ibu dan bayinya. Lima hari kemudian Ia diberi nama Siddharta yang berarti “tercapailah cita-citaNya.” Namun satu minggu setelah kelahiranNya, Dewi Mahamaya meninggal dunia. Semenjak itu, Ia diasuh oleh saudari ibuNya yakni Dewi Mahaprajapati di lingkungan istana.[2]
Kehidupan di istana membuatNya tak mengenal kehidupan di luar istana. Ia sama sekali tak diperbolehkan keluar istana. Pada usia 29 tahun, Ia menikah dengan Yashodara dan mempunyai seorang anak yakni Rahula, yang berarti “belenggu”. Pemberian nama ini kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh perasaan Siddharta yang merasa terbelenggu dengan gaya hidup yang dialamiNya. Perlahan-lahan Ia berhasil keluar dari istana. Dalam perjalananNya keluar istana inilah Ia mendapatkan empat pengalaman yang pada akhirnya menjadikan kegelisahan dalam hidupnya. Keempat pengalaman itu disebut sebagai Penampakan Agung[3], yakni:
1. Orang Tua
Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan menyaksikan betapa usia tua itu menghancurkan ingatan, keindahan, dan keperkasaan. Ia tidak pernah bertemu orang tua sebelumnya.
2. Orang Sakit
Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan; Ia merasa shock melihat penderitaan demikian. Sebelumnya Ia tak pernah melihat dan mengalami penderitaan seperti itu.
3. Mayat
Ia melihat orang sedang menangis dalam duka dan prosesi pemakaman. PerasaanNya sangat terganggu oleh suasana penderitaan karena kematian karena sebelumnya Ia tak pernah melihat peristiwa kematian.
4. Petapa
Ia melihat seorang suci sedang mengembara berjalan berkeliling dengan mangkok derma di tangannya. Petapa itu begitu nampak gembira.
Sejak saat itulah terjadi perubahan dalam diri Siddharta dan Ia mulai memahami bahwa semua kesenangan hidup tak berarti. Ia merindukan pengetahuan akan kebenaran. Maka pada tengah malam Ia pergi meninggalkan istana untuk mencari pengetahuan akan kebenaran itu. Ia bergabung dengan banyak orang suci.
Pertama-tama Ia berlatih yoga, kemudian hidup sangat miskin selama lima tahun bersama lima temannya. Namun Ia belum mendapatkan pengetahuan itu. Pada masa kedelapan, Ia duduk bersila di bawah pohon ara dekat sungai Nairanjana. Di bawah pohon itulah Ia bermeditasi selama tiga malam dan saat itulah Ia mendapatkan pencerahan. Selama tiga malam itu Ia berhasil melewati godaan Mara, roh jahat yang berusaha menghentikan niatnya. Malam pertama Ia melihat seluruh kehidupan pertamanya, yakni suasana kemegahan dalam istana. Malam kedua Ia melihat lingkaran kelahiran, kehidupan dan kematian dan hukum yang menguasainya. Malam ketiga Ia mengerti tentang Empat Kebenaran Mulia yakni: keseluruhan adalah penderitaan, asal-usul penderitaan, penyembuhan penderitaan, dan jalan menemukan penyembuhan penderitaan[4].
Setelah mengalami pencerahan inilah Sang Buddha mulai memberikan pengajaranNya untuk membantu orang lain mencapai Nirvana.

Konsep Iman dalam Buddhisme
Sang Buddha setelah berhasil mengalami pencerahan tidak langsung masuk ke Nirvana. Ia memutuskan untuk membatalkan kepergianNya ke Nirvana agar dapat mengajarkan visinya, yakni Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Beruas Delapan. Oleh sebab itu, konsep iman dalam Buddhisme tak bisa lepas dari visi Sang Buddha ini.
Dalam Keempat Kebenaran Mulia tersebut diajarkan bahwa sepanjang hidupnya manusia mengalami penderitaan yang disebabkan oleh keinginan manusia akan hal-hal duniawi. Agar dapat terlepas dari penderitaan itu, setiap manusia harus melepaskan keinginan akan hal-hal duniawi, yakni dengan mengikuti Jalan Beruas Delapan[5]. Dengan mengikuti Jalan Beruas Delapan ini seseorang akan terlepas dari lingkaran kehidupan. Mereka telah mencapai pencerahan.
Orang yang telah mencapai pencerahan selanjutnya akan terlepas dari penderitaan menuju Nirvana. Lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian yang tanpa akhir disebut samsara, yang artinya “pengembaraan tiada akhir”. Semua makhluk hidup tak bisa lepas dari lingkaran ini sampai mereka mencapai Nirvana, tempat di mana keadaan nafsu yang berkobar-kobar dan keserakahan dipadamkan. Maka semua orang berusaha untuk mencapai Nirvana.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam mencapai Nirvana, umat atau biarawan Buddhisme mengakui bahwa ia berlindung di dalam Buddha, Dharma (ajaran), dan Sangha (aturan). Oleh karenannya, siapa pun yang menyebut dirinya Buddhis melibatkan dirinya pada perwujudan suatu cita-cita dengan mengikuti suatu cara hidup di dalam kelompok orang yang juga terlibat dalam cita-cita yang sama. Keterlibatan ini dikenal sebagai “Mencari Perlindungan” kepada ketiga permata. Tindakan ini dapat mengambil bentuk seremonial, walaupun pada hakekatnya merupakan suatu pengalaman religius dan batiniah yang mendalam.
Ketiga permata yang dimaksud yakni Buddha, Dharma, dan Sangha. Buddha tidak dipahami dalam arti historis saja, namun sebagai cita-cita penerangan di dalam kenyataan universal dan terakhir. Dharma bukan saja keseluruhan pengajaran Buddha, melainkan seluruh ajaran moral dan rohani yang ditemukan dan diwahyukan olehNya. Sangha adalah komunitas rohani dari mereka yang berusaha mengalami pengalaman rohani menurut jalan Buddhis.[6]
Penutup
Dari uraian singkat di atas, cukup sulit untuk memahami Buddhisme sebagai sebuah agama menurut pengertian agama sebagai “segenap kepercayaan kepada Tuhan serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.”[7] Kesulitan tersebut disebabkan karena konsep “kepercayaan kepada Tuhan” dalam Buddhisme tidak ada. Persoalannya bukan terletak pada apakah Buddhisme dapat disebut sebagai agama menurut definisi tersebut, melainkan persoalannya terletak pada “definisi” itu sendiri yang mendasarkan diri pada agama yang disebut teis.
Agama teis berbeda dari agama monis, di mana subyek insani berbeda dengan Yang Ilahi, yang dalam agama monis distinksi tersebut tidak ada.[8] Maka dilihat dari uraian tentang konsep iman dan wahyu di atas, Buddhisme dapat dikategorikan sebagai agama monis. Dalam hal pewahyuan, nampak pula perbedaan antara agama teis dengan agama monis. Dalam agama teis, pewahyuan berasal dari “luar” sedangkan dalam agama monis pewahyuan berasal dari pengalaman batin. Agama teis menggabungkan diri pada pengalaman wahyu seorang “nabi”, sedangkan dalam agama monis pengalaman orang lain itu dapat menjadi alasan dan bimbingan untuk pengalaman sendiri karena bagi setiap orang agama merupakan pengalaman pribadi.
Demikian pula ekspresi iman dalam Buddhisme tidak ditekankan sebagaimana terdapat dalam agama teis. Bagi Buddhisme ekspresi iman tak menambahkan sesuatu pada pengalaman batin, malah seringkali mengaburkannya. Pengalaman batin tak perlu ditonjolkan secara khusus karena pengalaman itu merupakan pengalaman hidup pada taraf yang dalam. Oleh seorang Buddhis seluruh hidup dihayati secara mendalam, bukan hanya saat-saat tertentu yang diberi arti religius khusus sebagaimana banyak dijalankan oleh agama-agama teis.
DAFTAR PUSTAKA

Dhavamony, Mariasusai,
1995 Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta
Jacobs SJ., Tom,
2002 Paham Allah, Kanisius, Yogyakarta
Keene, Michael,
2006 Agama-agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta
Kusaladhamma, Bhikkhu,
2006 Kronologi Hidup Buddha, Pustaka Karaniya
Poerwadarminta, W.J.S.,
1993 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Snelling, J.,
1987 The Buddhist Handbook, Rider, London
[1] Ada berbagai versi kisah mengenai tahun kelahiran Pangeran Siddharta. Namun tahun 560 SM sebagaimana disebutkan di sini, penulis ambil dari sumber: Michael Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta: 2006, hal.68.
[2] Bdk. J.Snelling, The Buddhist Handbook, Rider, London: 1987, hal.20.
[3] Bhikkhu Kusaladhamma, Kronologi Hidup Buddha, Pustaka Karaniya, 2006, hal.51-75
[4] Keempat Kebenaran Mulia ini terdapat dalam Dhammapada, 190-192: “Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kasunyatan Mulia, yaitu: dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang menuju pada akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.”
[5] Jalan Beruas Delapan yang dimaksud adalah: pengertian yang benar (Samma-ditthi), pikiran yang benar (Samma-sankappa), bicara yang benar (Samma-vacha), tingkahlaku yang benar (Samma-kammanta), bekerja yang benar (Samma-ajiva), usaha yang benar (Samma-vayama), kontrol budi yang benar (Samma-sati), dan konsentrasi yang benar (Samma-samadhi).
[6] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1995, hal.310-311.
[7] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1993, hal. 18
[8] Bdk. Tom Jacobs SJ, Paham Allah, Kanisius, Yogyakarta: 2002, hal.95-98

Problem Kepemilikan Tanah

Tanah dan Persoalan Ketidakadilan
Belajar dari Kisah Perebutan Kebun Anggur Nabot (1 Raj 21:1-16)

I. Pendahuluan
Fakta tentang ketidakadilan sosial seakan bukan menjadi hal yang asing lagi di hadapan kita saat ini. Kita bisa menyebutkan berbagai macam realita yang berkaitan dengan soal ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat kita. Ketidakadilan pada umumnya disebabkan oleh keinginan untuk memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain, disertai dengan cara-cara yang mengabaikan hak orang lain. Di sinilah muncul soal ketidakadilan.
Dari berbagai macam ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat, kita bisa menyebutkan persoalan perebutan tanah sebagai salah satu contoh dari fakta ketidakadilan. Di Indonesia, persoalan tentang kepemilikan tanah sering terjadi baik melalui proses yang benar (jual-beli) maupun dengan cara perebutan tanah atau pun penggusuran, baik oleh pemerintah atau pun oleh pihak-pihak berduit. Bahkan terjadi pula, negara – yang seharusnya menjadi perlindungan bagi seluruh rakyat, justru sering secara sepihak mengklaim kekuasaan atas tanah. Hal ini merupakan sebuah fakta ketidakadilan yang terjadi pada zaman ini.
Fakta ketidakadilan atas kepemilikan tanah itu ternyata juga pernah terjadi dalam Perjanjian Lama, yakni dalam kisah perebutan kebun anggur milik Nabot oleh raja Ahab dalam 1 Raj 21:1-29. Dari kisah tersebut, penulis mencoba untuk menganalisa secara lebih mendalam hal-hal apa saja yang sebenarnya melatarbelakangi terjadinya perebutan tanah, yang pada akhirnya mengorbankan nyawa Nabot sebagai pemilik tanah. Penulis ingin mencoba melihat konsep kepemilikan tanah seperti apakah yang melatarbelakangi Nabot untuk mempertahankan kebun anggurnya. Selain itu penulis juga mencoba untuk melihat bagaimana sikap yang muncul dalam menghadapi persoalan ketidakadilan. Seruan kenabian Elia menjadi gambaran bagaimana sikap yang muncul dalam melawan fakta ketidakadilan.

II. Struktur Kisah 1 Raj 21:1-29
Untuk memahami alur kisah Kebun Anggur Nabot, pertama-tama kita perlu melihat bagaimana teknik bercerita yang digunakan oleh narator. Teknik yang digunakan ini dapat dibagi dalam struktur kisah sebagai berikut:[1]
à 1-4 : Babak I : Ahab dan Nabot – problem dimunculkan
à 5-7 : Babak II : Ahab dan Izebel
à 8-16 : Babak III : Izebel – pemecahan problem
8-10 : Izebel mengirim surat berisi perintah
11-14 : perintah dilaksanakan
15-16 : problem terselesaikan – timbul problem baru
à 17-19 : Babak IV : YHWH – Elia – hukuman diumumkan
à 20-24 : Babak V : Elia – Ahab – hukuman disampaikan
à 25-26 : Komentar Narator
à 27-29 : Babak VI : Reaksi Ahab – hukuman diubah

III. Konsep Kepemilikan Tanah Bangsa Israel
a. Analisis Teks 1 Raj 21:1-16
Pada babak I (ayat 1-4) dikisahkan dialog antara Nabot dan Raja Ahab. Nabot adalah orang Yizreel yang mempunyai kebun anggur di samping istana Ahab, raja Samaria. Dialog dimulai ketika raja Ahab berkata kepada Nabot untuk memberikan kebun anggurnya kepada raja. Disebutkan dua alasan yang mendasari keinginan Ahab untuk memiliki kebun anggur Nabot, yaitu ingin menjadikannya kebun sayur dan letak kebun anggur Nabot yang berada dekat dengan istana Ahab. Permintaan Ahab ini pun dirumuskan dengan cukup sopan melalui proses transaksi yang umum berlaku, yakni: mengganti dengan kebun anggur lain yang lebih baik, atau membayarnya (membelinya). Ahab, sebagai seorang raja menurut aturan sebenarnya diperbolehkan mengambil ladang penduduk untuk diberikan kepada pegawai-pegawainya (1 Sam 8:14).
Tawaran Ahab ternyata ditolak oleh Nabot. Ia menolak tawaran Ahab untuk menyerahkan kebun anggurnya dengan mengatakan: “Kiranya TUHAN menghindarkan aku dari pada memberikan milik pusaka nenek moyangku kepadamu!” (ay 3). Menurut Jerome T.Wals dan Christopher T. Begg, penolakan ini didasarkan pada dua hal penting, yaitu horor religius (YHWH melarang) dan aturan hukum (tanah merupakan warisan leluhur, bdk Im 25:23-24).[2] Sikap Nabot ini oleh James A. Montgomery disebut sebagai sikap orang yang tak hanya mempunyai perasaan cinta kepada keluarganya, namun juga orang yang bertanggungjawab atas keluarganya.[3]
Jawaban Nabot ini membuat Ahab kesal dan gusar hatinya. Dalam babak II nampak bagaimana kekesalan hati Ahab tersebut berpengaruh pada saat ia berdiskusi dengan isterinya, Izebel (ay 6). Kedua alasan penolakan Nabot itu dimengerti sebagai penolakan tanpa kompromi oleh Ahab. Bahkan alasan religius yang disebutkan oleh Nabot tidak diungkapkan oleh Ahab saat berdiskusi dengan Izebel. Mendengar alasan itu, Izebel, putri raja Sidon, menilai penolakan Nabot itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja. Seorang petani tak sepatutnya menolak keinginan raja untuk mengambil tanah garapannya. Ini nampak dalam perkataannya: “Bukankah engkau sekarang yang memegang kuasa raja atas Israel? Bangunlah, makanlah dan biarlah hatimu gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu!” (ay 7).
Pada ayat 7 tersebut, Izebel menjanjikan kepada Ahab akan memberikan kebun anggur Nabot. Pemenuhan janji tersebut terpenuhi dalam babak III. Bagaimana cara Izebel memenuhi janjinya? Izebel mengambilalih kekuasaan Ahab. Ia menulis surat atas nama Ahab dan memeteraikannya atas nama raja, kemudian mengirimkannya kepada tua-tua dan pemuka-pemuka yang diam sekota dengan Nabot. Surat tersebut berisi perintah agar seluruh rakyat berpuasa dan menempatkan Nabot duduk paling depan di antara rakyat. Di sana Nabot diadili dengan alasan telah mengutuk YHWH. Izebel dengan cerdik telah memanipulasi peraturan Taurat untuk membenarkan kejahatan yang dirancangnya terhadap Nabot. Dalam tradisi Israel kuno, puasa umum dilakukan saat ada kebutuhan khusus, antara lain saat masyarakat menghadapi bencana besar atau kemalangan (Hak 20:26, 1 Sam 14:24, 2Taw 20:3) atau saat mereka melakukan dosa besar yang mengakibatkan murka YHWH (1 Sam 7:6).[4]
Akhirnya surat perintah tersebut dilaksanakan dan hukuman terhadap Nabot pun dilakukan. Nabot dihukum mati dengan cara dilempari batu dengan alasan bahwa ia telah mengutuk Allah dan raja. Mendengar berita kematian Nabot, Izebel segera memberitahukannya kepada Ahab. Akan tetapi Izebel tidak memberitahukan kepada Ahab alasan kematian Nabot. Ahab pun mengambil alih kebun anggur milik Nabot menjadi miliknya.
b. Konsep Kepemilikan Tanah Bangsa Israel
Dari uraian singkat di atas, kita bisa bertanya lebih jauh tentang penyebab utama permasalahan perebutan kebun anggur Nabot ini. Hukum seperti apa yang sebenarnya dipertahankan oleh Nabot sehingga ia menolak untuk memberikan kebun anggurnya kepada Ahab.
Di atas telah disinggung dua alasan Nabot mempertahankan kebun anggurnya, yakni horor religius dan aturan hukum. Pada bagian ini, penulis akan mencoba memperdalam kedua alasan ini.
i. Horor Religius
Bagi bangsa Israel, pemilik mutlak dari tanah adalah YHWH. Tanah dimengerti sebagai simbol pengikat perjanjian antara YHWH dengan Israel sejak para bapa bangsa mereka. Kepemilikan tanah dihayati sebagai tanda perhatian dan pemeliharaan YHWH atas Israel. Ketika orang Israel hidup dan dihidupi oleh tanah yang diwarisi dan diolahnya, hal itu dihayati sebagai tanda nyata kesetiaan YHWH atas perjanjianNya.
Demikian pula saat Israel memiliki raja yang berkuasa, kekuasaan raja itu pun tidak mutlak dan tak bisa semena-mena atas Israel. YHWH tetap diakui sebagai satu-satunya raja atas Israel (Hak 8:23; 1 Sam 12:12), sehingga Ia pun menjadi pemilik mutlak atas tanah. Tanah Suci adalah kekuasaan YHWH (Yos 22:19). Inilah tanah yang telah Ia janjikan kepada para Bapa Bangsa (Kej 12:7; 13:15; 15:18; 26:4; Kel 32:13; Bil 1:35-36), tanah yang Ia serahkan dan berikan kepada umatNya (Bil 32:4; Yos 23:3, 10; 24:11-13; Mzm 44:4).[5]
Kepemilikan YHWH secara mutlak atas tanah nampak dalam Im 25:23: “Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagiKu.” Oleh karena itu wajarlah bila Nabot, sebagai seorang yang mematuhi perjanjian dengan YHWH berusaha untuk mempertahankan tanahnya.
ii. Aturan Hukum
Sistem kepemilikan tanah dalam bangsa Israel berbeda dari beberapa sistem yang dianut oleh bangsa lain di sekitarnya. Dalam sistem kepemilikan tanah di Mesir, seluruh tanah merupakan milik Firaun atau para imam (Kej 47:20-26). Demikian pula di Kanaan, tanah merupakan milik penguasa sedangkan rakyat adalah petani buruh.
Bagi bangsa Israel aturan hukum kepemilikan tanah erat kaitannya dengan konsep religius, sebagaimana telah diungkapkan di atas. Tanah adalah warisan leluhur. Warisan itu terkait erat dengan perjanjian dan pengakuan akan YHWH sebagai pemilik tanah sesungguhnya. Oleh sebab itu tanah tidak bisa diserahterimakan kepada orang lain yang bukan dari suku mereka, terlebih kepada orang lain di luar bangsa Israel. Bahkan dalam situasi mendesak sekalipun, orang hanya bisa menjual tanah kepada saudara se-suku.
Kendati tanah merupakan milik YHWH, tanah bukanlah hal yang melulu sakral. Tanah juga merupakan fakta sosial-ekonomi yang diberikan oleh YHWH agar dimiliki oleh setiap orang Israel dan dari situlah mereka hidup. Israel mempunyai hak atas tanah, tetapi hak milik atas tanah itu bersifat sosial di mana hasil yang diperoleh dari tanah harus memberi manfaat bagi semua sehingga tak ada seorang pun yang lapar dan miskin di tanah yang diberikan YHWH itu (Ul 15:4).
Menurut Taurat, orang-orang yang tidak beruntung seperti para janda, yatim piatu, dan orang asing juga berhak atas hasil tanah yang diberikan YHWH. Hal itu diatur misalnya berkaitan dengan persepuluhan pada tahun ketiga (Ul 14:28), sisa sabitan gandum dan anggur (Im 19:9-10), orang miskin boleh mengambil gandum untuk dimakan di ladang namun tak boleh membawa pergi (Ul 23:24-25), pada tahun Sabat orang miskin boleh mengambil hasil kebun, anggur dan zaitun (Kel 23:10-11).
Selain gagasan di atas, kepemilikan tanah sebagai warisan leluhur yang tak boleh dijual berkaitan juga dengan konsep hidup sesudah mati dalam keyakinan orang Israel. Merujuk pada Yes 8:19a yang berbunyi: “Dan apabila orang berkata kepada kamu: ’Mintalah petunjuk kepada arwah dan roh-roh peramal yang berbisik-bisik dan komat-kamit,” serta kisah Saul dengan tukang tenun di En-Dor (1 Sam 28), dalam masyarakat Yahudi terdapat konsep kehidupan setelah kematian.
Orang yang sudah mati dalam arti tertentu masih mempunyai “kehidupan” maka wajarlah jika ada persembahan yang diberikan kepada orang yang sudah mati. Orang yang sudah mati tetap ”hidup” dengan amat terbatas sehingga membutuhkan bantuan dari orang yang masih hidup, terutama keturunannya. Tanah untuk menguburkan orang mati itu pun berada dalam tanah miliknya. Oleh karenanya tanah itu perlu dipertahankan untuk tetap menjaga kuburan leluhurnya serta tetap menjaga kelangsungan ibadah arwah yang menentukan kebahagiaan orang yang sudah meninggal itu.[6]

IV. Misi Kenabian Elia
Dalam babak IV dan V kita bisa melihat bagaimana YHWH bertindak atas kejahatan yang dilakukan oleh Ahab dan Izebel. Tindakan YHWH yang berupa tuduhan dan hukuman itu disampaikan oleh Elia, utusanNya. Sebagai “penyambung lidah YHWH” Elia ditampilkan sebagai sosok yang keras. Hal ini wajar karena tugasnya adalah menjalankan peran kritis terhadap Ahab dan Izebel, isterinya, yang cenderung membawa kerajaan utara menjauhi perjanjian dengan YHWH dan mendekatkan diri pada Baal.
Sebagaimana para nabi yang lain, tugas utama dari Elia adalah berjuang untuk mempertahankan identitas Israel dan kesetiaan mutlak YHWH berdasarkan perjanjian Sinai. Dan salah satu pokok perjanjian Sinai yang terkait dengan tanah dan harta milik adalah larangan menjual tanah warisan sebagaimana terjadi dalam kasus kebun anggur Nabot ini.
Misi kenabian yang dibawa oleh Elia ini nampak dalam tugas perutusan yang diembannya, sebagaimana dikatakan oleh YHWH sendiri. “Bangunlah, pergilah menemui Ahab, raja Israel yang di Samaria. Ia telah pergi ke kebun anggur Nabot untuk mengambil kebun itu menjadi miliknya. Katakanlah kepadanya, demikian: Beginilah firman TUHAN: Engkau telah membunuh serta merampas juga! Katakan pula kepadanya: Beginilah firman TUHAN: Di tempat anjing telah menjilat darah Nabot, di situ jugalah anjing akan menjilat darahmu”(ay 18-19).
Perintah tersebut terdiri dari dua bagian yaitu: tuduhan dan nubuat penghukuman. Ahab dituduh melakukan dua kejahatan: membunuh (bdk Kel 20:13) dan merampas (Kel 20:17). Hukuman yang harus diterima Ahab berupa quid pro quo, apa yang dilakukan, itulah yang harus diterima! Mata ganti mata, gigi ganti gigi![7] Hukuman yang akan diterima Ahab sama halnya dengan yang telah terjadi pada Nabot, yakni: “Di tempat anjing telah menjilat darah Nabot, di situ jugalah anjing akan menjilat darahmu” (ay 19)[8].
Baik tuduhan maupun hukuman pada ayat 19 tersebut mendapatkan penekanan yang kuat melalui rumusan pesan yang disampaikan YHWH secara penuh. Melalui rumusan hukuman itu pembaca mungkin dihadapkan pada kesulitan karena pernyataan tentang kisah Nabot setelah ia dilempari batu, yakni bagaimana anjing telah menjilat darah Nabot, tidak diceritakan sebelumnya. Namun demikian, ayat 19 memberi tekanan kuat tentang kata “darahmu.”[9]
Berhadapan dengan kesulitan ini, kita bisa menduga nasib Nabot sesudah dilempari batu: mayatnya tidak ada yang mengurusi sehingga anjing pun bisa menjilati darahnya. Ini menunjukkan bahwa Nabot nampaknya tidak mempunyai keluarga, atau setidaknya keluarganya tak berdaya untuk mengklaim kebun anggurnya sebagai warisan. Dalam 2Raj 9:26 dikatakan bahwa anak-anak Nabot juga dibunuh.[10]
Walaupun aktor utama dalam pembunuhan Nabot adalah Izebel, akan tetapi Ahab juga secara tak langsung terlibat dalam hal itu. Izebel, yang saat itu hanya sedikit disinggung – dia sebelumnya telah membunuh para nabi dan mengancam kehidupan Elia. Izebel memainkan peranan penting dalam pembunuhan Nabot. Keinginan Ahab yang ditolak untuk memiliki kebun anggur Nabot, mendorong usaha Izebel untuk mewujudkan keinginan Ahab itu. Di sinilah Ahab diam-diam menuruti Izebel dan memperoleh keuntungan.[11] Oleh karenanya ketika Elia datang kepadanya, Ahab memanggilnya sebagai musuh. “Sekarang engkau mendapat aku, hai musuhku?” (ay 20).
Hukuman yang dinubuatkan oleh Elia sebagaimana diperintahkan YHWH serupa dengan hukuman yang ditimpakan kepada keluarga Yerobeam bin Nebat (14:1-20) dan keluarga Baesa bin Ahia (15:33-16:7). Izebel pun tak luput dari hukuman YHWH. Ia akan dihukum dengan cara yang sangat mengerikan: “Anjing akan memakan Izebel dari tembok luar Yizreel” (ay 23).
Terhadap nubuat tentang kematian Ahab ini narator menyebutkan pelanggaran yang telah diperbuat oleh Ahab (ay 25-26). Penyampaian pelanggaran ini juga akan mendasari kisah pelenyapan keluarganya. Pelanggaran itu antara lain pernikahannya dengan Izebel dan menyembah berhala. Pelanggaran yang dilakukan Ahab ini mirip dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Salomo yang menikahi wanita asing dan menyebabkannya menyimpang dari YHWH (1 Raj 11:1-13). Demikian juga keinginan Ahab untuk memiliki kebun anggur Nabot, oleh Choon-Leon Seow dianggap sebagai sebuah penyimpangan karena keinginannya untuk memiliki tanah itu lebih besar daripada cintanya kepada YHWH.[12]
Mendengar nubuat Elia tentang kematiannya, Ahab menyesali seluruh perbuatannya. Dalam babak VI reaksi Ahab ini digambarkan secara dramatis: Ahab mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain kabung pada tubuhnya dan berpuasa. Bahkan ia tidur dengan memakai kain kabung, dan berjalan dengan langkah lamban (ay.27, bdk 2 Raj 22:11,19). Melihat hal ini, YHWH menunda hukuman itu dan menimpakan hukuman itu pada zaman anaknya. Penundaan pelaksanaan hukuman ini oleh narator disebut sebagai belaskasih YHWH dan akan tergenapi pada Ahazia, anak Ahab. Setelah kematian Ahazia, keturunan Ahab sudah berakhir (2 Raj 1:1-18).
Inilah misi kenabian Elia untuk mempertahankan identitas Israel dan kesetiaan mutlak YHWH berdasarkan perjanjian Sinai.

V. Penutup
Dari pembahasan tentang kisah kebun anggur Nabot di atas, kita bisa melihat bahwa unsur ketidakadilan dapat memberangus hak dan akses hidup orang lain. Kisah perampasan kebun anggut Nabot oleh raja Ahab merupakan sebuah gambaran tentang model kekuasaan yang “haus darah.” Ahab (dan Izebel) mengingkari dan merampas hak rakyat atas tanah yang merupakan akses rakyat untuk hidup. Perampasan ini pada akhirnya juga merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi dan hak asasi atas hidup.
Di sisi lain, Nabot adalah gambaran korban kerakusan penguasa yang “haus darah.” Ia adalah gambaran orang-orang tak berdaya yang mengalami ketidakadilan. Nasib yang dialami oleh Nabot dalam memperjuangkan hak sosial-ekonomi dan hak asasi atas hidup itu mewakili jutaan korban ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa di masa ini.
Oleh karena itu, kisah kebun anggur Nabot ini tetap relevan untuk meneropong persoalan penindasan dan ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Misi kenabian yang dijalankan oleh Elia dalam menegakkan hukum menjadi gambaran bagi kita untuk turut serta menyuarakan dan memperjuangkan keadilan bagi segala bidang kehidupan.





DAFTAR PUSTAKA
Brown, R.E., - Joseph A. Fitzmyr - Roland E.Murphy,
1996 The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, London
Choon-Leong Seow,
1994 “The First and Second Books of Kings” dalam Leander E.Keck, The New Interpreter’s Bible, Abingdon Press, Nashville
de Vaux, Roland,
1961 Ancient Israel Its Life and Institutions, McGraw-Hill Book Company, New York
Indra Sanjaya, V., Pr.,
2007 “Kitab-kitab Sejarah”, Pro-Manuscripto, Fakultas Teologi Wedhabakti, Yogyakarta
Laffey, A.L., RSM.,
2002 “I-II Raja-Raja” dalam Dianne Bergant, CSA dan Robert J.Karris, OFM (Eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta
Montgomery, J.A.,
1986 The InternationalCritical Commentary on The Book of Kings, T.&T.Clark Ltd., Edinburgh
Nelson, R.,
1987 Interpretation First and Second Kings, John Knox Press Louisville, Kentucky


[1] V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, Pro-Manuscripto, Fakultas Teologi Wedhabakti, Yogyakarta 2007, hal 80
[2] Bdk. Raymond E. Brown, Joseph A. Fitzmyr, Roland E.Murphy, The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, London 1996, hal.174.
[3] James A. Montgomery, The InternationalCritical Commentary on The Book of Kings, T.&T.Clark Ltd., Edinburgh 1986, hal 330.
[4] Bdk. Choon-Leong Seow, “The First and Second Books of Kings” dalam Leander E.Keck, The New Interpreter’s Bible, Abingdon Press, Nashville 1994, hal 156.
[5] Bdk.Roland de Vaux, Ancient Israel Its Life and Institutions, McGraw-Hill Book Company, New York 1961, hal 164-165.
[6] Bdk. V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, hal.54-55.
[7] V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, hal.84
[8] Kisah kematian Ahab digambarkan dalam 1 Raj 22:34-40. Pada ayat 38 digambarkan bagaimana darah Ahab juga dijilat anjing.
[9] Bdk. Richard Nelson, Interpretation First and Second Kings, John Knox Press Louisville, Kentucky 1987, hal. 143
[10] V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, hal.84
[11] Alice L.Laffey, RSM, “I-II Raja-Raja” dalam Dianne Bergant, CSA dan Robert J.Karris, OFM (Eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta 2002, hal.325.
[12] Bdk. Choon-Leong Seow, “The First and Second Books of Kings” dalam Leander E.Keck, The New Interpreter’s Bible, Abingdon Press, Nashville 1994, hal. 158-159.

Minggu, 14 Juni 2009

Laskar Pelangi dari Sudut Pandang Sosiologi Agama

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Film Laskar Pelangi yang merupakan sebuah adaptasi dari novel karangan Andrea Hirata berjudul Laskar Pelangi menjadi sebuah film yang menarik perhatian banyak orang, khususnya masyarakat di Indonesia. Film ini merupakan garapan sutradara Riri Riza yang dirilis pada 25 September 2008. Film Laskar Pelangi mengisahkan gambaran nyata masyarakat yang terjadi di Pulau Belitong. Film ini mengangkat dua tema yang cukup kuat digambarkan yakni pendidikan dan sosial.

Film Laskar Pelangi dalam waktu singkat telah menjadi film Box Office kebanggaan Indonesia. Selain itu, film ini juga mendapat kesempatan mengikuti Festival Film Internasional di Berlin dan Hongkong pada tahun 2009, serta masuk dalam nominasi Film Terbaik dan Editor Terbaik dalam Asian Film Awards 2009. Sejak ditayangkan untuk umum di bioskop secara serentak pada 25 September 2008, dalam waktu 2 bulan jumlah penonton sudah mencapai 4 juta lebih. Ini merupakan sebuah rekor baru bagi dunia perfilman nasional.

Film Laskar Pelangi, yang menampilkan kisah nyata tentang situasi sosial-ekonomi masyarakat dan situasi pendidikan di SD Muhammadiyah Gantong ini banyak mendapatkan apresiasi para penonton. Salah satu apresiasi berasal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Republik Indonesia. Ia mencatat dua hal penting dalam film Laskar Pelangi, yakni pertama dari segi estetika dan keindahan, film ini begitu luar biasa, terlebih karena akting para pemain yang natural serta menggambarkan secara nyata situasi negara di masa lalu maupun sekarang; kedua, anak-anak Laskar Pelangi mengingatkan bahwa semua orang membutuhkan pendidikan untuk masa depan. Oleh sebab itu film ini merupakan sebuah amanah bagi pemerintah untuk meningkatkan efektivitas pendidikan di negara ini.

Dari latar belakang inilah kami mencoba untuk mengangkat film Laskar Pelangi sebagai bahan penelitian kami dalam matakuliah Sosiologi Agama ini. Mungkin kita akan bertanya-tanya tentang keterkaitan antara film Laskar Pelangi dengan Sosiologi Agama: apakah terdapat hubungan atau keterkaitan antara kedua hal ini? Rasanya pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan yang wajar muncul di benak kita. Awalnya kami pun merasa kesulitan untuk mencari keterkaitan kedua hal itu, namun setelah digali lebih lanjut terdapat beberapa hal yang dapat ditarik sebagai keterkaitan antara film Laskar Pelangi dengan hal-hal yang dikaji dalam Sosiologi Agama. Sejumlah keterkaitan itu antara lain: penanaman nilai keagamaan melalui pendidikan, sejumlah unsur keagamaan yang ditampilkan dalam film (baik dari segi isi maupun alur cerita yang mencakup: simbol, ritus dan mitos), gambaran sosial-ekonomi masyarakat Belitong, dan sejumlah gambaran tentang pola pikir masyarakat yang ada di Belitong.

Perumusan Masalah

Dalam pembahasan paper ini kami mencoba rumuskan beberapa masalah yang akan kami angkat sebagai bahan penelitian. Rumusan masalah itu yakni:

1. Sejauh mana film Laskar Pelangi mencerminkan dan memuat unsur-unsur keagamaan, terlebih menyangkut simbol, ritus dan mitos?

2. Bagaimana situasi masyarakat di Pulau Belitong, menyangkut aspek: ekonomi, sosial, dan pendidikan baik secara nyata maupun digambarkan dalam film Laskar Pelangi?

3.Sejauh mana film Laskar Pelangi memberikan sumbangan bagi proses pendidikan di Indonesia?

4. Sejauh mana nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan melalui pendidikan itu berpengaruh bagi perubahan masyarakat, terutama naradidik?

5. Sejauh mana hubungan antara pendidikan, agama, dan cara berpikir-bertindak masyarakat?

Tujuan Penelitian

Ada pun tujuan penelitian yang akan kami buat yakni:

a. Mengkaji bagaimana film Laskar Pelangi menampilkan unsur-unsur keagamaan yang ditanamkan melalui pendidikan di SD Muhammadiyah Gantong, berangkat dari sebuah sistem kebudayaan.

b. Mengkaji lebih lanjut latar belakang gambaran umum masyarakat di Pulau Belitong.

c. Mengkaji bagaimana model pendidikan yang digambarkan dalam film Laskar Pelangi dan sumbangan yang dapat diterapkan bagi pendidikan di Indonesia.

d. Melihat lebih jauh bagaimana perubahan cara berpikir masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah di Pulau Belitong untuk meraih masa depan yang lebih baik melalui pendidikan, sehingga mendorong mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

e. Mengkaji hubungan antara pendidikan, agama, dan kelas-kelas dalam masyarakat Belitong sebagaimana digambarkan dalam film Laskar Pelangi.

Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis yang coba kami buat dalam paper ini adalah:

1. Film Laskar Pelangi secara keseluruhan menggambarkan unsur-unsur keagamaan, sebagaimana dimaksudkan oleh Clifford Geertz tentang agama sebagai sebuah sistem kebudayaan.

2. Film Laskar Pelangi memberikan sumbangan bagi model pendidikan di Indonesia.

3. Nilai-nilai keagamaan yang disampaikan melalui pendidikan berpengaruh pada cara berpikir masyarakat dalam kehidupan mereka.

4. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat ikut berpengaruh terhadap rasa religius/keagamaan dalam diri mereka. Semakin tradisional pola pikir masyarakat, ternyata aspek keagamaan masih kuat tertanam. Sebaliknya semakin modern cara pikir orang/masyarakat, aspek keagamaan justru cenderung melemah.

Metode Penelitian

1. Model Studi Bacaan

Dalam penelitian ini, kami mencoba untuk mencari sejumlah teori yang akan kami gunakan dalam penelitian dengan membaca sejumlah literatur yang terkait dengan topik yang dibahas. Setelah itu, kami mencoba untuk menerapkan tesis-tesis yang ada dalam penelitian yang kami buat.

2. Browsing Internet

Kami mencoba mencari dari internet sejumlah data yang kami perlukan dalam pembahasan ini. Sejumlah data itu antara lain tentang: a) kondisi geografis dan sosiologis Pulau Belitong; b) situasi ekonomi dan kelas dalam masyarakat di Pulau Belitong; c) sejarah dan peran SD Muhammadiyah di Pulau Belitong; d) peranan Film Laskar Pelangi bagi masyarakat di Pulau Belitong.

3. Metode Angket

Kami menyebarkan angket untuk melihat bagaimana tanggapan sejumlah orang yang pernah melihat film Laskar Pelangi. Sampel yang kami gunakan berjumlah 40 mahasiswa/i semester IV PGSD Universitas Sanata Dharma. Adapun fokus dari angket yang kami buat adalah sejauh mana film Laskar Pelangi ini berhasil menyampaikan pesan tentang penanaman nilai budi pekerti dan akhlak melalui pendidikan. Adapun alasan pemilihan sampel dari para mahasiswa/i PGSD karena mereka adalah orang-orang yang nantinya akan terlibat secara langsung dalam dunia pendidikan di Indonesia.

BAB II

SEBUAH ANALISIS

TERHADAP FILM LASKAR PELANGI

A. Landasan Teori

Untuk mengkaji keterkaitan film Laskar Pelangi sebagai sebuah sistem kebudayaan, kita akan melihatnya dari kacamata pandangan Clifford Geertz tentang agama. Clifford Geertz pernah merumuskan pengertian tentang agama sebagai sebuah sistem budaya. Dalam hal ini, agama berarti (1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.

Dalam rumusan tersebut, terdapat lima elemen penting tentang pandangan agama sebagai sebuah sistem kebudayaan. Pada elemen pertama, yang dimaksud dengan ”sistem simbol” adalah segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang: suatu obyek seperti roda dua orang Budha, suatu peristiwa seperti penyaliban, suatu ritual seperti bar mitzwah, atau sekedar tindakan tanpa kata, seperti gerak isyarat kasihan atau kerendahan hati. Dalam hal ini, sebuah sistem simbol membawa pesan tertentu. Dengan kata lain, ide dan simbol ini bersifat publik sehingga bersifat obyektif.

Pada elemen kedua, Geertz mengatakan bahwa simbol-simbol ini ”menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia.” Dalam hal ini kita dapat meringkas bahwa agama dilihat sebagai hal yang dapat membuat orang merasakan sesuatu dan juga ingin melakukan sesuatu. Motivasi memiliki tujuan, dan ia dibimbing oleh serangkaian nilai yang abadi – apa yang memiliki arti bagi orang, apa yang mereka anggap baik dan benar. Di sisi lain, suasana hati berbeda dengan motivasi. Suasana hati memancar dari keadaan-keadaan tertentu namun tidak menanggapi tujuan manapun.

Dalam elemen ketiga hendak dimaksudkan bahwa suasana hati yang berasal dari fakta itu muncul karena agama yang mengisi dirinya dengan sesuatu yang sangat penting. Bisa dikatakan bahwa agama merumuskan ”konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi.” Agama mencoba memberi penjelasan yang puncak tentang dunia. Ketika manusia menghadapi suatu kekacauan, ia mengetahui adanya ketidakteraturan dalam dunia. Hal itu terjadi demikian ketika orang-orang menghadapi hal-hal yang secara intelektual, benar-benar tidak mereka pahami; ketika secara moral, mereka menghadapi kejahatan, yang tak dapat mereka terima; atau ketika secara emosi, mereka melihat apa yang terjadi, namun hal itu berbenturan dengan apa yang seharusnya. Di sinilah terjadi dua sisi yang berlainan, yakni konsepsi tentang dunia dan serangkaian suara hati dan motivasi yang dibimbing oleh ideal-ideal moral. Secara bersamaan keduanya terletak pada inti agama. Keduanya itu diringkas dengan sekadar menunjukkan ”pandangan dunia” dan ”etos” pada ide-ide konseptual dan kecenderungan perilaku.

Selanjutnya, agama ”membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.” Secara sederhana ini berarti bahwa agama menandai suatu wilayah kehidupan yang memiliki status khusus. Hal yang memisahkan agama dari sistem budaya yang lain adalah bahwa simbolnya mengklaim menempatkan kita bersentuhan dengan apa yang ”betul-betul riil” – dengan hal-hal yang berarti bagi orang yang lebih dari yang lain. Dan terutama dii dalam ritual-lah orang-orang tercengkeram oleh perasaan dari realitas yang memaksa ini. Di dalam ritual, ”suasana hati dan motivasi” kaum beriman yang religius bersesuaian dengan pandangan dunia mereka sedemikian rupa sehingga mereka secara sangat kuat menguatkan satu sama lain. Pandangan duniaku mengatakan padaku bahwa aku harus merasakan hal ini, dan pada gilirannya perasaanku mengatakan padaku bahwa pandangan duniaku pasti benar; tak ada yang salah dengannya. Di dalam ritual-lah terjadi sebuah perpaduan simbolik antara etos dengan pandangan dunia,” apa yang dilakukan dan dirasakan, orang-orang harus melakukannya – etos mereka – bersatu dengan gambaran mereka tentang jalan dunia yang sebenarnya

Dari uraian di atas, kita bisa mengerucutkannya menjadi tiga bagian utama menyangkut agama sebagai sebuah sistem kebudayaan, yakni simbol, mitos, dan ritus. Ketiganya akan menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya.

B. Film Laskar Pelangi dan Sistem Kebudayaan

Dari uraian tentang teori Sistem Kebudayaan yang sebagaimana dipaparkan oleh Clifford Geertz di atas, kami akan mencoba menganalisa film Laskar Pelangi dengan landasan tersebut. Tiga poin utama yang akan kami lihat adalah simbol, mitos dan ritus yang dapat dilihat dalam film Laskar Pelangi.

Simbol yang nampak secara dominan dalam film Laskar Pelangi adalah
Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Gantong di Pulau Belitong. Sebagian
besar adegan dalam film Laskar Pelangi terjadi di lingkungan SD
Muhammadiyah. Diawali dengan adegan “penerimaan murid baru” sampai
dengan peristiwa “kepergian Lintang yang harus putus sekolah”.
SD Muhammadiyah menjadi simbol dari bangkitnya kesadaran masyarakat
sipil terhadap pendidikan. Secara umum, masyarakat kelas menengah ke
bawah di Pulau Belitong pada tahun 1970-an (setting waktu yang
dinampakkan dalam film adalah tahun 1974), tidak memberikan perhatian
utama terhadap pendidikan. Mereka lebih memperhatikan kelangsungan
hidup keluarga mereka masing-masing. Sehingga banyak orang tua yang
tidak menyekolahkan anaknya karena alasan ekonomi (tidak mampu
membayar biaya sekolah). Mereka lebih suka anak laki-lakinya menjadi
penerus usaha ayahnya atau bekerja seperti ayahnya. Sedangkan anak perempuan menjadi ibu rumah tangga seperti para wanita pada umumnya. Mereka tidak mendapat perhatian utama.

Simbol ini tentu bukan hanya dilihat dari segi bangunan (fisik) namun juga dilihat dari segi komunitas. SD Muhammadiyah yang dinampakkan dalam film adalah paduan dari lingkungan fisik (berupa bangunan sekolah), para staf pengajar (Pak Harfan sebagai kepala sekolah bersama Pak Bakri dan Bu Muslimah sebagai pengajar), dan para murid. Sejak awal film, diperlihatkan bahwa kelangsungan SD Muhammadiyah Gantong sangat tergantung pada jumlah murid baru yang diterima. Pada adegan-adegan selanjutnya, terlihat bahwa SD Muhammadiyah menjadi “hidup dan berprestasi” karena adanya dinamika dari para guru dan para murid yang cinta dan peduli pada pendidikan.

”Sekolah sebagai Titik Awal meraih Cita-cita (Mimpi).” Begitulah kira-kira gambaran yang dapat kita ambil dari perjuangan kesepuluh anggota Laskar Pelangi (Ikal, Lintang, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, Sahara, dan Harun) yang tidak lain adalah para murid SD Muhammadiyah Gantong. Kalimat tersebut semacam menjadi sebuah mitos bagi mereka. Mitos dalam film ini secara jelas ditunjukkan pada adegan mengharukan di mana Lintang mencoba menyakinkan Ikal bahwa sekolah merupakan awal bagi setiap orang untuk meraih cita-cita (mimpi). Lintang bercerita kepada Ikal bahwa ia sesungguhnya ingin membantu ayahnya menangkap ikan di laut. Namun ayahnya justru menyuruh Lintang untuk bersekolah dan dari dorongan ayahnya itu Lintang bertekad untuk menuntut ilmu sebaik-baiknya.

Lintang menjawab pertanyaan Ikal yang mulai putus asa terhadap keadaan sekolahnya: Sekolah apa ini? Tak ada guru? Tak ada Murid?, dengan sebuah pernyataan penuh keteguhan dan motivasi yang kuat tentang pentingnya pendidikan. Pendidikan tidak hanya tergantung pada bangunan atau guru tetapi dari motivasi dari para murid sendiri. Motivasi Lintanglah yang akhirnya menular pada teman-temannya “Laskar Pelangi”. Pada adegan inilah, tercetus sebuah mitos bahwa sekolah adalah pintu menuju cita-cita. Tanpa pendidikan yang formal, orang tidak akan mampu meraih cita-citanya secara maksimal. Tentu saja tanpa bersekolah pun orang bisa sukses. Namun di sinilah hendak ditampakkan kesadaran publik akan pentingnya pendidikan.

Sedangkan poin ketiga, ritus, dapat kita lihat dalam dinamika kehidupan anggota Laskar Pelangi dari awal hingga akhir film. Dinamika yang nampak itu adalah: Pergi Sekolah, Belajar dan Bekerja Karena adanya mimpi akan kehidupan yang lebih baik, anggota Laskar Pelangi berusaha meraih mimpi mereka akan kehidupan yang lebih baik dengan berangkat ke sekolah, giat belajar bersama dengan guru, teman-teman, dan alam sekitar mereka. Di samping bersekolah, mereka juga tetap bekerja membantu para orang tua mereka yang harus membanting tulang untuk menafkahi hidup sehari-hari.

Dengan adanya SD Muhammadiyah sebagai simbol dan Mimpi (Cita-cita hidup yang lebih baik) sebagai mitos, maka anggota Laskar Pelangi tetap setia berangkat ke sekolah, belajar bersama, pulang, bekerja membantu orang tua, belajar larut malam. Aktivitas sekolah menjadi sebuah ritus bagi mereka. Selain itu, mereka juga mulai mengenal kegiatan ibadah shalat sebagai ritus keagamaan mereka.

C. Film Laskar Pelangi Ditinjau dari Segi Analitis-Naratif

Film Laskar Pelangi sebagai sebuah hasil adaptasi sinema dari novel Laskar Pelangi, tentu sah-sah saja bila film ini dikatakan sebagai sebuah karya fiksi. Meskipun film ini merupakan karya fiksi, namun di balik kisah yang dibangun dalam film ini termuat pula sebuah peristiwa historis yang benar-benar dialami oleh sang penulis novel sendiri, yaitu: Andrea Hirata. Unsur fiksi dan historis inilah yang menarik untuk diperhatikan sehingga kita tidak hanya melihat film ini sebagai hiburan belaka, melainkan juga memperhitungkan isi dan relevansi film ini bagi kehidupan kita sekarang ini. Untuk itu, kita juga perlu melihat film ini dari segi analisis narasi yang dikombinasikan dengan analisis historis-kritis.

Untuk menganalisisnya, kita akan mencoba melihat bagaimana film ini disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah alur yang menarik. Dalam setiap film, ada sebuah plot yang terdiri dari: 1. Eksposisi; 2. Momen yang menggugah; 3. Komplikasi-komplikasi; 4. Klimaks – Resolution – Turning Point; 5. Conclusion (Kesimpulan, Ending). Kelima unsur inilah yang akan digunakan untuk melihat keseluruhan film Laskar Pelangi dalam penelitian ini.

Dalam film “Laskar Pelangi”, plot cerita yang tersusun adalah sebagai berikut:

1. Eksposisi

Pada bagian awal film, ada sebuah narasi (yang dikisahkan oleh Ikal sendiri) mengenai beberapa informasi penting sebagai awal menuju adegan-adegan selanjutnya, yaitu:

a. Setting Tempat : Pulau Belitong, Desa Gantong, SD Muhammadiyah Gantong.

b. Situasi Lingkungan Sosial di Pulau Belitong: Ada pembatasan “ruang” yang menyebabkan terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat.

c. Setting Waktu :Dari tahun 1999 ketika Ikal pulang kampung kemudian flash back ke tahun 1974.

d. Tokoh Utama : Lintang dan Bu Muslimah.

2. Momen-momen Yang Menggugah

Setelah narasi awal disampaikan, maka film dilanjutkan dengan adanya peristiwa- peristiwa yang menggugah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1974 yaitu peristiwa ”hari pertama masuk sekolah”. Adegan-adegan yang terjadi pada babak ini, yaitu:

a. Ikal yang bersepeda sendirian menuju ke sekolah dan menjadi murid pertama di SD Muhammadiyah Gantong.

b. Bu Mus yang berangkat ke SD Muhammadiyah Gantong untuk mengajar sebagai guru baru.

c. Para orang tua yang mengajak anak-anak mereka untuk pergi sekolah.

d. Ada sindiran dari para warga sekitar yang tidak percaya akan pentingnya pendidikan.

e. Kecemasan Pak Harfan dan Bu Mus akan masa depan SD Muhammadiyah Gantong.

f. Kehadiran Harun yang menyelamatkan masa depan SD Muhammadiyah Gantong.

g. Kontras antara SD Muhammadiyah Gantong dengan SD PN Timah.

3. Komplikasi-Komplikasi

Setelah peristiwa di hari pertama masuk sekolah, setting waktu
langsung beralih cepat melewati lima tahun yang sengaja tidak digambarkan secara detail. Setting waktu langsung ditempatkan pada saat Ikal dan kawan-kawan duduk di bangku kelas 5. Pada babak ini, mulai dimunculkan komplikasi-komplikasi yang kemudian akan mengarahkan alur cerita menuju klimaks.

a.Komplikasi 1 : Gambaran Kontras antara SD Muhammadiyah Gantong dengan SD PN Timah

Unsur

SD Muhammadiyah

SD PN Timah

Latar Belakang Para Murid

Keluarga kelas menengah ke bawah dan serba terbatas

Keluarga kaya, berkecukupan

Atribut sekolah (para murid)

Tidak berseragam dan hanya memakai sandal

Berseragam lengkap

Kepala sekolah

Hidup serba sederhana namun berkharisma

Hidup terjamin dan punya otoritas dalam disiplin

Para Guru

Tak berseragam resmi, gaji selalu tertunda, dan harus cari uang tambahan sendiri.

Berseragam resmi, gaji terjamin, dan mencukupi.

Bangunan dan fasilitas sekolah

Memprihatinkan seperti ”kelas kambing” dan fasilitas terbatas (misal: kapur tulis, meja, kursi dan alat hitung).

Bangunan sekolah modern (dengan banyak ruang kelas), fasilitas lengkap dan modern.

Visi-misi

Pendidikan akhlak dan budi pekerti, penanaman nilai humaniora (empati dan kepedulian kepada sesama), penanaman nilai-nilai spiritualitas.

Pendidikan intelektual, bersaing dalam prestasi sebanyak mungkin.

Latar Belakang Sosial

Baik para guru maupun murid berasal dari kelas bawah. Para murid harus bekerja membantu mencari nafkah.

Baik para guru maupun murid berasal dari kelas menengah ke atas dan hidup serba cukup.

b. Komplikasi 2 : Masa Libur Sekolah

Pada masa liburan sekolah, diperlihatkan realitas kehidupan para murid dan guru di SD Muhammadiyah Gantong. Mereka harus bekerja keras demi kelangsungan hidup mereka. Ada yang bekerja sebagai kuli angkut di pasar; menjadi buruh di pengeboran; berjualan di pasar; membantu membawa peralatan untuk melaut; dan ada juga yang menjahit. Sedangkan di SD PN Timah, para murid belajar olahraga sepatu roda dan dapat berekreasi sekehendak mereka. Para ”Laskar Pelangi“ memang harus bekerja pada siang hari tetapi mereka tetap semangat belajar pada malam hari.

c. Komplikasi 3: Beli Kapur

Peristiwa pembelian kapur tulis pada babak ini sungguh unik. Pada
babak ini dimulailah perkenalan dan kisah cinta Ikal dengan A Ling.
Peristiwa ini akan sungguh mempengaruhi hidup Ikal dalam meraih
cita-cita hidupnya. Adegan dalam babak ini memperlihatkan betapa SD Muhammadiyah begitu jauh dari pusat perekonomian dan memperlihatkan
bahwa ada warga keturunan Tionghoa yang umumnya berdagang di pasar
(pusat ekonomi).

d. Komplikasi 4: Bakri Pindah Sekolah untuk Mendapat Penghasilan yang Lebih Baik

Bakri akhirnya memutuskan untuk pindah mengajar. Pada adegan ini ditunjukkan realitas bahwa guru juga membutuhkan nafkah untuk hidup. Selain itu, ada realitas bahwa tidak banyak warga yang peduli dan percaya akan proses pendidikan dan situasi di SD Muhammadiyah Gantong. Kepergian Bakri, memaksa Bu Mus dan Pak Harfan harus bekerja lebih keras lagi.

e. Komplikasi 5: Ikut Karnaval

Peristiwa menyambut 17 Agustus, sungguh momen penting bagi masyarakat di Belitong. Karena ada karnaval yang diikuti oleh sekolah-sekolah dasar. Peristiwa ini merupakan ajang ekspresi dan kreasi dari masing-masing SD. Dalam babak ini diperlihatkan lagi, kontras antara SD Muhammadiyah yang serba terbatas dengan SD PN Timah yang serba kecukupan dan modern. Bakat alami dari Mahar mulai menunjukkan hasilnya dan memberikan kebanggaan bagi sekolahnya. Dengan kemenangan SD Muhammadiyah, mulai muncul kepercayaan para warga bahwa SD Muhammadiyah dapat berprestasi.

f. Komplikasi 6: Kehadiran Flo

Pada babak ini, dimunculkan tokoh “Flo”, seorang anak dari keluarga kaya, yang memilih pindah ke SD Muhammadiyah setelah melihat tarian di karnaval yang bernuansa “mistis”. Flo tertarik pada hal-hal mistis dan akhirnya mengajak Mahar dan teman-temannya di SD Muhammadiyah untuk berpetualang di dunia mistis.

g.Komplikasi 7: Pergi ke P. Lanun

Babak ini sungguh menarik. Diawali dengan realita bahwa prestasi para murid yang mulai menurun dan peristiwa A Ling yang harus pergi ke Jakarta. Flo dan Mahar mencoba mencari solusi dengan bertemu Tuk Bayan Tula. Mahar juga mencoba mengajak Ikal. Namun akhirnya jawaban Tuk Bayan Tula membuat mereka sadar bahwa hasil apa pun tidak dapat diraih tanpa usaha dan belajar untuk lebih baik.

h. Komplikasi 8: Pak Harfan Tiada

Peristiwa wafatnya Pak Harfan, menjadi titik menuju klimaks film.
Karena berduka, Bu Mus akhirnya tidak ke sekolah. Para murid mulai
kebingungan dan lebih memilih tinggal di rumah. Tiada guru, tiada
murid.

i. Komplikasi 9 : Ikal mengajar

Dalam situasi tiada guru tiada murid, Lintang berinisiatif mengajak Ikal dan teman-temannya yang lain untuk pergi ke sekolah dan belajar bersama di kelas. Semangat para murid ini menggugah Pak Zulkarnaen untuk menyadarkan Bu Mus untuk kembali ke sekolah dan mengajar.

j. Komplikasi 10 : Ikut Cerdas Cermat

Bu Mus mempersiapkan Tim untuk ikut Cerdas Cermat. Sebelum ikut Cerdas Cermat, ada peristiwa unik yaitu ketika Lintang “tertahan” karena buaya. Pada peristiwa Lomba Cerdas Cermat diperlihatkan adanya macam-macam SD di Belitong. Ada SD Negeri (dari Pemerintah) dan SD Swasta (PN Timah dari kalangan pemilik modal dan Muhammadiyah dari yayasan Islam). Dalam lomba ini, bakat dan kejeniusan Lintang memberikan peneguhan akan kemampuan SD Muhammadiyah untuk menghasilkan para murid yang berprestasi dan berkualitas.

4. Klimaks : Lintang harus Putus Sekolah

Setelah menang lomba, Lintang pulang ke rumah dan harus berhadapan dengan realita bahwa ayahnya belum pulang dari melaut. Lintang akhirnya tidak sekolah selama beberapa hari. Sampai pada titik klimaks, di mana Lintang harus berpamitan karena harus menanggung beban nafkah keluarganya.

5. Resolusi – Turning Point

Setting waktu kemudian beralih ke tahun 1999 seperti pada setting awal film. Disebutkan narasi singkat tentang kehancuran usaha PN Timah dan penghapusan “sekat-sekat” dalam masyarakat. Nampak pula keberhasilan Ikal dalam menjalani pendidikan dan semangat Lintang yang ditularkan kepada anaknya.

6. Konklusi

Pada bagian akhir diperlihatkan bahwa setelah berada di Perancis, Ikal mengirim surat kepada Lintang. Lintang menyampaikan kepada anaknya supaya terus berusaha untuk mengejar cita-cita. Selanjutnya ada adegan yang khas di akhir film, yaitu Bu Mus dan para murid menyanyikan lagu tentang Jalan Iman: Enam Perkara, yang menunjukkan kekhasan SD Muhammadiyah. Enam perkara tersebut adalah beriman kepada: 1. Allah; 2. Malaikat; 3. Kitab; 4. Para Rasul; 5. Hari Kiamat; 6. Takdir Baik dan Buruk.

BAB III

FAKTA SOSIAL

MASYARAKAT DI PULAU BELITUNG

A. Pengantar

Pada Bab II telah diuraikan sebuah analisa tentang film Laskar Pelangi yang dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Pada Bab III ini, kami akan mencoba menampilkan keadaan sosial yang ada di Pulau Belitung yang digunakan sebagai latar utama dalam film Laskar Pelangi. Secara garis besar, pada bab ini akan dipaparkan bagaimana situasi masyarakat di tempat tersebut mencakup situasi sosial-ekonomi yang ada. Tujuannya agar kita memperoleh gambaran nyata tentang keadaan daerah di mana daerah tersebut menjadi latar pembuatan film Laskar Pelangi.

B. Situasi Masyarakat di Pulau Belitong

Pulau Belitung atau Belitong (bahasa setempat) terletak di lepas pantai timur Sumatera yang diapit oleh Selat Gaspar dan Selat Karimata. Pulau ini terkenal dengan merica dan timahnya. Bahkan akhir-akhir ini menjadi sebuah tujuan wisata alam alternatif. Sejak tahun 2003, pulau ini dibagi menjadi dua kabupaten yakni Kabupaten Belitung yang beribukota di Tanjung Pandan dan Kabupaten Belitung Timur yang beribukota di Manggar.Keduanya mewarisi cerukan-cerukan bekas penambangan timah, yang populer disebut kolong.

Kolong-kolong tersebut merupakan bekas-bekas dari Unit Penambangan Timah Belitung, yang telah ditutup oleh PT Timah pada tahun 1991. Alasan penutupan UPT Belitung ini dikarenakan timah dari Belitung itu sudah kehilangan pamor, cadangannya menipis, dan biaya produksi tidak sebanding dengan harga jualnya. Kendati demikian, penambangan timah ini sebenarnya telah menjadi sumber ekonomi utama di Pulau Belitung. Sejak tahun 1852 penambangan timah di Belitung ini telah dimulai oleh perusahaan Belanda, Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton. Para pekerja didatangkan dari Cina yang umumnya dikenal dengan sebutan Cina Parit. Kendati miskin, para pekerja ini ulet dalam bekerja sehingga banyak di antara para buruh tambang ini berhasil secara ekonomis dan membuka usaha perdagangan.

Penambangan timah di Belitung inilah yang menjadi daya tarik bagi penduduk suku-suku lainnya, seperti Jawa, Bugis, Madura, dan Minang. Mereka datang ke pulau ini untuk mencari pekerjaan. Suku bangsa Tionghoa yang berada di Belitung Timur pada tahun 2000 sekitar 4,7 persen dari jumlah penduduk 81.103 jiwa. Meskipun kecil, namun pengaruh mereka di masyarakat cukup kuat. Salah satunya adalah dalam bahasa. Banyak penduduk di Belitung mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Cina dengan dialek Hakka, sebagaimana dipakai oleh para pekerja tambang.

Kendati zaman keemasan timah di Belitung Timur ini sudah berlalu, namun pertambangan masih tetap menjadi harapan perekonomian di wilayah ini. Berbagai sumber tambang yang masih dapat diharapkan antara lain: kaolin (bahan baku porselin dan bahan campuran kain, kertas, karet, dan obat-obatan), pasir kuarsa (bahan baku berbagai industri seperti gelas kaca, keramik, dan pengecoran logam), tanah liat, pasir bangunan, dan timah yang masih ditambang oleh penduduk setempat. Mereka umumnya mengelola sendiri hasil penambangan timah itu dan menjualnya ke PT Timah atau pun ke Singapura.

Selain dari pertambangan, perekonomian di Belitung Timur saat ini ditopang juga oleh sektor perkebunan dan perikanan. Perkebunan itu antara lain: lada, kelapa, kelapa sawit, cokelat dan kopi. Sektor perkebunan ini mencakup 36 persen dari penduduk yang bekerja (menurut sensus penduduk 2000). Dari sektor perikanan, keberadaan Pulau Belitung yang strategis bagi sektor ini. Belitung Timur dikelilingi oleh Laut Natuna, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Potensi ikan yang didapat dari perairan ini antara lain: kerapu, ikan karang, udang windu, kakap merah, cumi-cumi, kembung, japuk, laisi, teri, dan tongkol. Umumnya hasilnya diekspor ke Malaysia, Singapura, dan Taiwan.

Kendati masih banyak potensi yang mendukung perekonomian, Belitung Timur pada tahun 2007 tercatat sebagai kabupaten termiskin di Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Jumlah penduduk miskin mencapai 27,94 % dari 91.702 jiwa penduduk Belitung Timur. Secara lengkap, perbandingan itu dapat dilihat dari tabel berikut:

Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2007

No

Kabupaten/Kota

KK MISKIN

JIWA MISKIN

Jumlah Penduduk

%

1

Kota Pangkalpinang

5.165

13.886

150.668

9,21

2

Bangka

8.191

28.641

237.053

12,08

3

Belitung

5.897

20.495

197.950

10,35

4

Bangka Tengah

3.886

12.008

133.179

9,01

5

Bangka Selatan

5.802

18.589

164.657

11,28

6

Bangka Barat

7.841

23.332

142.574

16,36

7

Belitung Timur

12.227

28.149

91.702

27,94

Jumlah

49.069

145.100

1.117.783

12,98

Sumber: Hasil Survei Tahun 2007

Secara lebih spesifik, jumlah penduduk miskin tersebut dapat dilihat dalam masing-masing kecamatan yang ada di wilayah Belitung-Timur, sebagai berikut:

Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin

Masing-masing Kecamatan di Belitung Timur Tahun 2007

NO

KECAMATAN

DESA

KELURAHAN

KK MISKIN

JIWA MISKIN

1

GANTUNG

1.GANTUNG

1.509

3.905

2.JANGKAR ASAM

466

1.219

3.LINTANG

640

1.317

4.RENGGIANG

248

540

5.SELINGSING

393

1.062

6.SIMPANG TIGA

224

543

7.LILINGAN

462

1.263

JUMLAH

3.942

9.849

2

DENDANG

1.DENDANG

229

572

2.LANGKANG

318

408

3.NYURUK

182

403

4.SIMPANG PESAK

307

817

5.TANJUNG BARU ITAM

229

401

6.TANJUNG KELUPANG

175

345

JUMLAH

1.440

2.946

3

MANGGAR

1. BARU

899

3.119

2. BUKIT LIMAU

214

222

3.KELUBI

291

576

4.KURNIA JAYA

515

1.027

5.LALANG JAYA

969

2.136

6.LALANG

729

1.711

7.MEMPAYA

225

501

8.MENGKUBANG

480

832

9.PADANG

441

1.070

10.SUKAMANDI

320

658

JUMLAH

5.083

11.852

4

KELAPA KAMPIT

1.AIR KELIK

183

399

2.BUDING

305

564

3.CERDIL

134

248

4.MAYANG

135

338

5.MENTAWA

415

998

6.PEMBAHARUAN

210

428

JUMLAH

1.382

2.975

Sumber: Hasil Survei Tahun 2007

Dari sisi keagamaan, masyarakat di Belitung-Timur ini cukup bervariasi. Berdasarkan data Kanwil Depag Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung tahun 2007, mayoritas penduduk beragama Islam (80.820 jiwa), sedangkan yang lain bervariasi: Katolik (636), Protestan (1.151), Hindu (1), Budha (4.549)[8]. Adapun sarana peribadatan yang ada berupa: masjid, langgar, mushala, gereja (terdapat di setiap kecamatan), pura (di kecamatan Manggar), dan Vihara (di kecamatan Gantung, Manggar dan Kelapa Kampit). Dengan demikian sarana pemenuhan kebetuhan masyarakat memadai.

C. Situasi Masyarakat di Gantong[9]

Gantong merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Belitung Timur. Gantong merupakan kota terbesar kedua setelah Manggar. Letaknya sekitar 20 Km dari ibukota kabupaten, Manggar. Nama Gantong diambil dari sebuah jembatan gantung terbesar yang membentang di atas sungai Lenggang. Gantong merupakan salah satu lokasi penambangan timah yang di Kepulauan Bangka Belitung. Di Gantong juga terdapat sebuah bendungan terkenal yaitu bendungan PICE.

Matapencaharian penduduk mayoritas bekerja sebagai penambang timah. Perkembangan infrastruktur cukup baik, terutama karena ditunjang oleh keberadaan PT Timah di daerah tersebut. Perkembangan tersebut antara lain jaringan telepon yang memadai, pelabuhan kecil di Sungai Lenggang, gedung bioskop dan teater, serta lapangan golf. Itu semua adalah milik PT Timah. Akan tetapi sejak pertengahan 1985, Gantong mengalami masalah penurunan ekonomi yang serius, terlebih karena penutupan aktivitas penambangan di pulau itu.

PICE merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Gantong yang berada di sungai Lenggang. Bendungan PICE menjadi salah satu tujuan wisata lokal di Gantong. Bendungan ini dibangun oleh Belanda pada awal abad 20 untuk mengatur permukaan air hulu sungai Lenggang sehingga Kapal Keruk (nama lainnya EB = Emmer Bager) PT Timah dapat beroperasi dan mengeruk timah dari dasar sungai Lenggang pada masa kejayaan PT Timah. Namun kondisinya saat ini cukup mengenaskan dan terkesan terlantar.

Selain kaya akan timah, di Gantong juga terdapat pertambangan pasir silika, yang merupakan bahan dasar bermacam produk kaca. Pasir ini adalah sejenis pasir putih dengan diameter yang sangat kecil. Untuk mendapatkannya tak perlu mesin dan teknologi yang canggih karena pasir ini terdapat beberapa meter dari permukaan tanah. Banyak penduduk Gantong yang juga bekerja pada perusahaan tambang silika ini sampai sekarang.

Matapencaharian lain adalah petani, terutama petani lada putih. Lada putih ini dapat tumbuh cepat di Gantong, sebagaimana di tempat lain di pulau itu. Sekitar tahun 1990-an harga lada putih sangat tinggi yakni sekitar Rp 80.000; per kilo. Namun karena persediaannya yang besar, harga semakin menurun yang mengakibatkan sejumlah petani menghentikan bisnis ladanya. Harganya saat ini kurang dari Rp 15.000 per kilo. Harga ini tak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan untuk pemupukan dan distribusi ke luar pulau.

Sejumlah peninggalan PT Timah juga masih terdapat di Gantong. Salah satunya adalah Gedong, yakni lokasi perumahan pejabat PT Timah yang pada masa itu di depan gerbang masuk kompleks terdapat tulisan ”DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK BERHAK”. Di sini terdapat banyak bangunan tua yang sudah terlantar, antara lain kantor dan pusat bengkel PN Timah, Wisma Ria dan bekas SD PT Timah yang bangunannya masih berdiri sampai saat ini. Sementara itu bangunan SD Muhammadiyah sudah tidak ada. Di pusat kota Gantong berdiri masjid Al-Hikmah.

BAB IV

LASKAR PELANGI DAN GAMBARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

A. Dunia Pendidikan Laskar Pelangi: Sebuah Tawaran Model Pendidikan di Indonesia

Unsur menonjol yang digambarkan dalam film Laskar Pelangi adalah unsur pendidikan. Para anggota Laskar Pelangi adalah para siswa-siswi yang belajar di SD Muhammadiyah. Sebagai lembaga pendidikan yang berlandaskan pada keagamaan, SD Muhammadiyah mempunyai semangat dan misi yang ingin mereka capai dari para naradidiknya. Dua orang guru dalam film tersebut (Pak Harfan dan Bu Muslimah) menjadi sosok yang paling kuat berpengaruh dalam pelaksanaan tujuan pendidikan di SD Muhammadiyah Gantong.

Film Laskar Pelangi menyajikan kepada kita sebuah model pendidikan yang mendasarkan diri pada pendidikan akhlak dan budi pekerti, penanaman nilai humaniora (empati dan kepedulian kepada sesama), penanaman nilai-nilai spiritualitas. Model pendidikan yang ditekankan oleh Pak Harfan dan Bu Muslimah kepada naradidiknya itu begitu menonjol digambarkan dalam film Laskar Pelangi.

Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa diambil sebagai sebuah model dalam pendidikan di Indonesia, sebagaimana digambarkan dalam film Laskar Pelangi.

1. Model Pendidik

Film Laskar Pelangi menyajikan bagaimana pergulatan batin seorang guru yang mampu bertahan menghadapi segala tantangan. Pak Harfan dan Bu Muslimah menjadi sosok pendidik yang bisa menghadapi tantangan dalam melaksanakan pengabdiannya sebagai seorang guru. Bahkan dalam film Laskar Pelangi tersebut digambarkan bagaimana Pak Harfan yang meninggal dunia saat ia masih duduk di bangku sekolah tempatnya mengabdi. Beberapa prinsip yang nampak pada sosok Pak Harfan sebagai seorang pendidik, antara lain: mengajar dengan menggunakan hati, selalu pantang menyerah dalam mengejar cita-cita atau mimpi dan selalu menuntut ilmu sepanjang hayat.

Demikian pula Bu Muslimah yang tetap mencoba bertahan menghadapi aneka tantangan seorang diri. Sebagai seorang guru perempuan yang masih muda, ia begitu mencintai Sekolah Muhammadiyah. Ini ditandai dengan pengorbanannya menolak tawaran dari SD Negeri lain yang sudah favorit di daerah tersebut dan walaupun sering tidak menerima gaji dari sekolah tersebut untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya ia mendapatkan uang melalui ongkos jahit pakaian. Bu Mus juga kerap kali memberikan dorongan kepada anak didiknya untuk selalu belajar dan mengejar mimpi, bahkan ia pula yang memberikan gelar anak didiknya "Laskar Pelangi", sebagai salah satu usaha dia untuk membangkitkan impian mereka untuk dapat mengejar cita-cita mereka.

2. Model Pendidikan Holistik

Dalam film Laskar Pelangi, digambarkan pula sebuah model pendidikan yang tak hanya mengembangkan sisi intelektual saja. Dalam film ini ditampilkan bahwa dalam pendidikan itu juga perlu memberi kesempatan dan membuka ruang bagi anak-anak untuk menjalani pendidikan yang utuh dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan dengan kerendahan hati. SD Muhammadiyah Gantong sebagaimana digambarkan, telah menawarkan sebuah model pendidikan holistik di tengah keterbatasan fasilitas dan kekurangan dana.

Pendidikan holistik merupakan ide pendidikan yang utuh dan integratif sebagai tempat berkembangnya segenap potensi dan karakter naradidik yang berbeda-beda secara wajar dan sehat, baik yang menyangkut aspek kecerdasan kognitif, keterampilan, sikap hidup, maupun budi pekerti. Pendidikan holistik juga merupakan gagasan dan model pendidikan yang menyeluruh dan menempatkan semua pihak sebagai bagian penting dan partisipan yang signifikan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, pendidikan holistik menjadikan sekolah atau tempat pendidikan sebagai dunia yang hidup bagi warga didik dan selalu berinteraksi dengan dunia lainnya.

Dengan model pendidikan seperti itulah anggota Laskar Pelangi belajar dan berbagi kehidupan di bawah asuhan sang kepala sekolah dan guru yang religius, humanis, dan penuh dedikasi. Pak Harfan dan Bu Mus bukan sekadar mengajari anak-anak tentang ilmu pengetahuan dan pelajaran, tapi juga mendidik mereka tentang budi pekerti dan karakter serta berbagi pemahaman tentang makna hidup secara bersahaja. Pak Harfan adalah tipe guru yang sesungguhnya, guru yang tak hanya mentransfer pelajaran, tapi juga secara pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi muridnya.

B. Pendidikan dan Penanaman Nilai Akhlak Naradidik

Pendidikan berperan penting dalam membina akhlak dan karakter bangsa. Oleh sebab itu penanaman akhlak harus dimulai sejak sekarang, baik melalui pendidikan di sekolah maupun dalam rumah tangga. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius dan memiliki nilai-nilai luhur akan lebih mudah menanamkan akhlak dalam setiap warganya. Agama menjadi sumber akhlak untuk membina akhlak bangsa sehingga pembinaan akhlak tidak dapat dilepaskan dari peran agama.

Akhlak sendiri dimengerti sebagai keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan di mana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung rugi.[10] Orang berakhlak baik melakukan kebaikan secara spontan tanpa pamrih apapun. Demikian juga sebaliknya, orang yang berakhlak buruk akan melakukan keburukan tanpa mempertimbangkan akibatnya, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Manusia tak ada yang secara tiba-tiba menjadi orang bijak atau pun penjahat. Manusia membutuhkan proses untuk sampai pada sebuah karakter diri. Maka pendidikan akhlak yang baik perlu secara terus-menerus ditanamkan dalam diri setiap manusia.

Kesadaran akan perlunya menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan akhlak ini perlu mendapat perhatian yang cukup mendesak diwujudkan. Salah satu upaya menanamkannya adalah melalui media pendidikan, seperti sekolah. Sejauh mana film Laskar Pelangi berhasil menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan akhlak dalam diri anak-anak?

Berdasarkan hasil dari angket yang kami sebarkan kepada 40 responden mahasiswa/i PGSD Universitas Sanata Dharma, kami memperoleh sejumlah data yang menyatakan bahwa film Laskar Pelangi telah berhasil menggambarkan pesan pentingnya penanaman akhlak dalam sistem pendidikan di Indonesia. Keberhasilan tersebut nampak karena:

a. Film Laskar Pelangi mengisahkan gambaran nyata dari sebuah sisi kehidupan pedesaan yang miskin. Kendati hidup dalam situasi ekonomi demikian, namun anak-anak tetap mampu berjuang dalam mengembangkan diri mereka, baik secara intelektual maupun dalam aspek-aspek kehidupan lainnya.

b. Salah satu prinsip yang selalu disampaikan oleh Pak Harfan adalah: ”Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya.” Prinsip hidup ini merupakan sebuah pesan moral yang dapat mendidik setiap orang dalam hidupnya.

c. Film Laskar Pelangi menyampaikan banyak nilai moral bagi penonton. Hal ini nampak jelas dalam kehidupan para murid SD Muhammadiyah yang mampu bekerja sama satu sama lain tanpa melihat perbedaan suku dan ras. Kesepuluh anggota Laskar Pelangi yang berlatarbelakang berbeda-beda mampu bekerjasama satu sama lainnya.

d. Keteladanan para guru yang tetap setia mengabdikan diri mereka bagi anak-anak didik menjadi contoh seorang pendidik yang berhasil. Seorang guru tidak hanya bertindak sebagai pentransfer pelajaran, namun juga mesti bertindak sebagai sahabat bagi anak didiknya. Semangat pengabdian total juga menjadi pendorong dan inspirasi bagi para guru di Indonesia.

e. Film Laskar Pelangi dapat menjadi motivator yang baik bagi seluruh lapisan masyarakat, baik anak-anak, orang tua, maupun para guru dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan akhlak. Selain itu film ini juga dapat menjadi motivator dan penyemangat anak-anak untuk meraih cita-cita mereka.

            Dari beberapa alasan itu, kami menyimpulkan bahwa penanaman nilai budi pekerti dan akhlak bagi para siswa menjadi sebuah kebutuhan mendesak bagi pembentukan karakter bangsa. Dalam hal ini film Laskar Pelangi juga sudah bisa dikatakan berhasil dalam menyampaikan pesan tersebut melalui setiap alur kisah serta penokohan masing-masing karakter.

C. Pendidikan, Agama dan Perubahan Kemasyarakatan

Pada bagian ini, kita akan melihat bagaimana peran pendidikan dan agama dalam perubahan masyarakat. Adakah pendidikan dan agama dapat membawa perubahan dalam masyarakat? Untuk melihat unsur di atas, kami akan mencoba melihatnya dari perspektif film Laskar Pelangi dan mendasarkannya pada teori yang diberikan Denys Lombard.[11] Ada empat hal yang akan kami lihat dalam mengkaji sejauh mana pendidikan dan agama membawa perubahan dalam masyarakat.

1. Perubahan mentalitas

Pada kisah awal yang diceritakan kembali oleh Ikal, dapat dilihat bahwa Pulau Belitong memiliki potensi sumber daya alam yang sangat kaya, terutama karena adanya bahan tambang berupa timah. Namun demikian potensi sumber daya alam ini justru dikuasai oleh sekelompok orang yang berkuasa dan bermodal. Keadaan demikian menyebabkan masyarakat kelas bawah yang mayoritas beragama Islam dan hidup dalam alam pedesaan tidak menyadari bahwa kekayaan alam yang ada di Pulau Belitong telah dikeruk demi kepentingan orang-orang bermodal saja yang tentu saja sudah cukup terpelajar.

Masyarakat kelas bawah pada umumnya menerima saja posisi mereka dan taat pada aturan-aturan yang telah ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Masyarakat kelas bawah alias ”orang kecil” yang pada umumnya tidak berpendidikan menerima begitu saja batas-batas ruang yang telah ditentukan yang sekaligus dengan tegas menunjukkan adanya pembedaan kelas dalam masyarakat. ”Orang kecil” merasa sudah bersyukur dengan hidup apa adanya sesuai dengan penghasilan mereka masing-masing meskipun serba terbatas. Yang bekerja sebagai buruh di PN Timah merasa nyaman dengan gaji dan fasilitas yang serba terbatas yang bisa mereka peroleh. Yang bekerja sebagai nelayan merasa cukup dengan penghasilan mereka yang serba terbatas. Para wanita sudah merasa mencapai cita-citanya bila sudah bisa menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga.

Namun demikian, tidak semua ”orang kecil” mau hidup mapan dengan segala keterbatasan mereka. Bahkan banyak ”orang kecil” yang mulai mencari cara untuk mengatasi keterbatasan hidup mereka. Salah satu cara yang ditampilkan dalam film Laskar Pelangi adalah melalui jalan pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Bagi ”orang kecil” tentu saja harus berpikir berulang kali sebelum mereka menyekolahkan anaknya di sekolah dasar. Tentu saja mereka tidak hanya perlu memperhitungkan segi biaya sekolah namun juga segi penghasilan keluarga bisa berkurang karena anak-anak mereka tidak bisa membantu mencari nafkah. Namun, karena adanya sebuah harapan akan perubahan hidup maka muncullah kepedulian beberapa orang tua dari keluarga miskin terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak mereka.

Perubahan cara berpikir di dalam film Laskar Pelangi sejalan dengan pemikiran Denys Lombard, yang menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat perkotaan pesisir, mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan pemikiran baru tentang ruang dan waktu. Mereka adalah individu-individu yang belajar sedikit demi sedikit mengubah hubungannya terhadap orang lain (yang dianggap sesamanya), dan dunia. Dalam film ”laskar Pelangi” nampak adanya bahwa masyarakat kelas bawah menyadari bahwa terbatasnya ruang gerak dan ruang hidup mereka disebabkan oleh kurangnya wawasan mereka akan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat. Untuk itu, mereka mulai belajar sedikit demi sedikit mengubah pola hubungan mereka terhadap sesamanya terutama masyarakat berpunya dan terhadap lingkungannya. Untuk itulah, mereka mulai memikirkan masa depan anak-anak mereka dan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah dasar. Perubahan cara berpikir seperti itu juga menunjukkan adanya perubahan mentalitas masyarakat (dari yang tradisional-konvensional menuju era modern dan teknis).

Dalam awal film Laskar Pelangi nampak jelas adanya masyarakat yang tidak begitu peduli dengan pendidikan dan merasa mapan dengan hidup mereka apa adanya. Namun ada pula warga yang peduli akan masa depan keluarga mereka dan percaya akan pentingnya pendidikan.

2. Tata ruang dalam masyarakat

Setting tempat yang ditunjukkan dalam film Laskar Pelangi memperlihatkan bahwa ada pengaturan wilayah dalam sebuah daerah. Ada daerah pesisir, ada daerah perkampungan, ada daerah tempat pendidikan, ada daerah tempat ibadah, ada daerah pusat perekonomian (pasar), ada daerah pusat industri (PN Timah), dan ada daerah pusat pemerintahan. Pengaturan wilayah tersebut memperlihatkan pula adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang dilatarbelakangi pula oleh kondisi perekonomian masyarakat.

Dalam dunia modern, pengaturan ruang dalam masyarakat semakin kompleks seiring dengan perkembangan perekonomian yang terjadi di dalamnya. Dalam film Laskar Pelangi ditunjukkan bahwa ada jalan-jalan beraspal yang dilalui oleh kendaraan umum, seperti angkudes, truk, mobil dan sepeda. Sedangkan di lain tempat, ada jalan-jalan setapak yang hanya bisa dilewati menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Jarak antara satu daerah dengan daerah yang lain cukup jauh dan terlihat jarang penduduknya, kecuali di pusat-pusat perdagangan dan pemerintahan. Di perkampungan-perkampungan, terlihat bahwa masih banyak rumah-rumah panggung dan pada umumnya warga berpergian menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Sedangkan di pusat kota, ada banyak kegiatan industri, dagang dan pemerintahan sehingga perumahan pun padat.

Dengan situasi yang nampak di atas, banyak orang dari kampung yang termotivasi untuk pergi ke luar daerah, berpetualang, mencari pengetahuan baru dan berusaha memperbaiki kondisi kehidupan mereka, dengan bekerja atau bersekolah. Mereka menyadari bahwa karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka tidak bisa hanya menetap di desa, hidup dengan bertani atau berdagang kecil-kecilan. Mereka harus bersaing untuk bisa mendapatkan penghasilan yang layak dan hidup dengan lebih baik.

3. Tempat Ibadah

Dalam film Laskar Pelangi ditampakkan pula adanya tempat ibadah di lingkungan sekolah dan masyarakat. Melalui adegan shalat, ditampilkan suatu perpaduan antara pembelajaran ilmu pengetahuan dan pembelajaran nilai-nilai spiritualitas (agama). Karena mayoritas penduduk Desa Gantong beragama Islam, maka wajar saja bila penanaman nilai agama Islam sungguh ditekankan dalam SD Muhammadiyah Gantong.

Dengan belajar wudhu dan shalat, para murid belajar pula bagaimana mengatur waktu, hidup disiplin dan takwa kepada Allah. Di SD Muhammadiyah Gantong, selalu ditanamkan pentingnya akhlak yang baik kepada para murid. Murid lebih diarahkan untuk menjadi orang yang baik dan peduli terhadap lingkngan sekitarnya daripada menjadi orang yang berprestasi dan berkuasa tetapi tidak memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya. Tempat ibadah seperti mushola, masjid, kelenteng merupakan pusat ideologi religius bagi masyarakat. Di tempat ibadah seperti itulah warga berkumpul, beramah tamah, berbagi pengalaman dan berdiskusi untuk memecahkan persoalan bersama.

4. Pergeseran dari takhayul ke rasionalitas

Dalam film Laskar Pelangi kita dapat melihat adanya kepercayaan masyarakat di Pulau Belitong akan dunia mistis. Hal itu ditunjukkan secara sekilas di dalam film melalui adegan kepergian para murid ke Pulau Lanun untuk menemui Tuk Bayan Tula. Bagi masyarakat Pulau Belitong, Tuk Bayan Tula adalah sosok yang dianggap dapat mengatasi segala persoalan hidup terutama berkaitan dengan dunia gaib. Untuk itu pula Mahar dan Flo mengajak teman-temannya pergi ke Pulau Lanun untuk mencari penyelesaian masalah yaitu supaya nilai-nilai ulangan mereka bagus dan mereka bisa lulus ujian. Selain itu, Mahar juga mengajak Ikal dengan alasan supaya Ikal dapat menemukan jalan untuk bertemu kembali dengan A Ling.

Jawaban Tuk Bayan Tula sungguh mengejutkan mereka. ”Kalau nak
berhasil, usaha. Kalau nak pintar belajar.” Dari jawaban Tuk Bayan Tula ini, para murid disadarkan bahwa mereka tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan yang berbau mistis dan takhayul untuk menghadapi segala persoalan hidup. Para murid belajar sebuah pengalaman yaitu: untuk bisa berhasil dalam hidup, maka orang harus berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing.

Dari adegan dalam film tersebut, ada perubahan pemahaman akan nasib manusia. Nasib manusia tidak lagi ditentukan oleh hal-hal yang berbau mistis-ritual, melainkan oleh usaha manusia sendiri. Nasib tidak ditentukan oleh asal-usul seseorang atau silsilah keluarga melainkan dari sikap dan pilihan hidupnya sendiri. Orang yang hidup sesuai dengan akhlak yang baik maka akan menerima berkat dari Allah, sedangkan orang yang tidak hidup sesuai dengan akhlak yang baik, maka hidupnya akan selalu diliputi kemalangan.

BAB V

LASKAR PELANGI:

SEBUAH MODEL PEMAHAMAN SOSIOLOGI AGAMA

A. Agama dan Kelas Sosial Masyarakat

Dalam film Laskar Pelangi, terdapat sebuah gambaran tentang masyarakat yang memuat unsur kapitalisme, yakni ekonomi sebagai faktor utama yang mempengaruhi kehidupan. Keberadaan PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh dan memegang titik nadi ekonomi pulau Belitong menjadi gambaran yang sangat jelas tentang kapitalisme ini. Dalam film digambarkan tembok-tembok bangunan PN Timah yang kokoh dan banyak pegawai yang bekerja di sana. PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar.

Para petinggi PN Timah digambarkan sebagai orang yang ekslusif, orang-orang mewah yang terpisah dari masyarakat asli Belitong, Melayu. Pemisahan tersebut sangat jelas digambarkan dalam film yang terwakili oleh sebuah tembok tinggi panjang bertuliskan: ”Dilarang Masuk Bagi Yang Tidak Memiliki Hak.” Dalam salah satu adegan ketika beberapa murid SD Muhammadiyah berbicara dengan Flo, salah satu siswa SD PN yang pada akhirnya pindah ke SD Muhammadiyah, mereka dibatasi oleh sebuah pagar kawat yang tinggi. Adegan pengusiran oleh seorang petugas keamanan memberikan gambaran adanya perbedaan kelas di masyarakat.

Di satu sisi masyarakat asli Belitong yang tinggal di luar “tembok tinggi yang panjang” hidup dalam keadaan yang tidak berkecukupan, miskin melarat. Mereka bekerja sebagai kuli kasar PN Timah, sebagai tukang angkut pipa di instalasi penambangan serta buruh-buruh penjahit karung timah. Tenaga mereka digunakan untuk jenis pekerjaan yang kasar, yang membutuhkan kemampuan fisik, sementara mereka diupah dengan angka yang kecil. Di luar tembok tadi berdiri rumah-rumah sederhana, beberapa sekolah negeri dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin dipasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Sebaliknya orang-orang yang berada di dalam ”tembok tinggi” hidup dalam kemapanan dan kecukupan.

Dalam teori utamanya Marx meyakini bahwa pertama, kenyataan ekonomi sebagai hal yang mempengaruhi perilaku manusia. Kedua tesisnya yang mengatakan bahwa sejarah manusia sebagai sejarah pertentangan kelas. Konflik terus-menerus yang terjadi dalam masyarakat antara yang memiliki barang (biasanya orang kaya) dengan yang harus bekerja membanting tulang (biasanya orang miskin).[12]

Dalam film Laskar Pelangi kita melihat secara jelas adanya 3 tingkat golongan yaitu: (1) kelompok kaum elite yang diwakili oleh PN Timah, (2) kelompok kelas menengah yang diwakili oleh kaum pedagang, (3) kelompok masyarakat miskin dan tersingkir yang diwakili oleh para buruh PN timah dan terlihat jelas dalam tokoh Lintang yang mati identitas intelektualnya hanya karena harus menanggung kebutuhan ekonomi keluarga saat bapaknya meninggal.

Kelas-kelas yang ada dalam masyarakat juga berdampak terhadap kehidupan beragama. Kita ingat dalam film Laskar Pelangi tokoh A Kiong, seorang anak keturunan Konghucu, didaftarkan di sekolah Muhammadiyah yang kenyataannya berbeda sekali dengan keyakinannya. Namun karena keterbatasan ekonomi, A Kiong terpaksa didaftarkan orang tuanya ke sekolah Muhammadiyah. Dalam kasus ini, perbedaan keyakinan bukan lagi menjadi bahan pertimbangan yang terlalu dipikirkan. Adanya penyatuan mereka yang berbeda keyakinan dalam menuntut ilmu disebabkan oleh faktor ekonomi. Dari sini, dalam setiap kasus, kita bisa melihat bahwa suprastruktur (agama, politik) sebenarnya dikendalikan oleh basis ekonomi dan dinamika kesejahteraan kelas.[13]

Marx menjelaskan agama sebagai candu masyarakat dan tempat pelarian masyarakat miskin dari kesengsaraan dan penindasan.[14] Marx menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan atau dewa-dewa adalah lambang kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas.[15] Agama harus dipahami sebagai struktur yang diciptakan untuk mengendalikan ketegangan antara kelas “si empunya” dengan kekuatan “si lemah”.[16]

Marx menegaskan bahwa kita harus menarik garis paralel antara agama dan aktivitas sosio-ekonomi. Keduanya sama-sama menciptakan alienasi: agama merampas potensi ideal kehidupan alami manusia dan mengarahkan pada sebuah realitas asing (Tuhan), ekonomi kapital merampas hal yang lain dari ekspresi alami manusia, yaitu produktivitas kerja mereka dan merubahnya menjadi obyek materi, sesuatu yang bisa diperjualbelikan dan dimiliki oleh orang lain. Agama telah merampas nilai lebih kita sebagai manusia kepada Tuhan, begitu juga ekonomi kapitalis yang telah merampas pekerjaan kita, memberikannya dalam bentuk komoditi kepada kaum kaya yang akan menjualnya.[17]

Akhirnya dalam adegan film ketika Lintang bertemu dengan Ikal 12 tahun kemudian, nampak bahwa Lintang dengan kecerdasan mengagumkan mesti menerima nasibnya sebagai supir truk pasir di Belitong. Begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Dari pemikiran Marx kita melihat kaitan antara agama dan ekonomi.

B. Agama dan Masyarakat Industri Modern

Sejauh mana pola pikir masyarakat berpengaruh terhadap sikap religius seseorang? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dalam melihat kaitan antara agama dan masyarakat industri modern. Antara keduanya memang terkait satu sama lain. Setidaknya kita bisa melihat bagaimana fenomena yang terjadi di Eropa yang sebagian besar pola pikir masyarakatnya dipengaruhi oleh pola pikir modern. Nilai religius (keagamaan) nampak semakin menurun. Secara singkat dapat dikatakan bahwa semakin tradisional pola pikir masyarakat, mereka akan semakin bersifat religius. Demikian terjadi sebaliknya dengan orang-orang modern.

Dalam film Laskar Pelangi, perbedaan nilai religius ini dapat kita lihat dari beberapa adegan yang ada. Dari dua kelas sosial yang ditampilkan, yakni masyarakat asli Belitong (kalangan bawah) dan orang-orang yang berada di PN Timah (kalangan atas), keduanya menggambarkan bagaimana penghayatan nilai keagamaan yang berbeda.

Tabel berikut ini merupakan gambaran perbedaan penghayatan nilai keagamaan yang ditampilkan dalam film Laskar Pelangi, antara dua kelas yang berbeda.

Pembanding

Kelas Bawah

Kelas Menengah Atas

Pakaian/busana

- Beberapa wanita masih mengenakan busana ’muslim’ seperti Bu Mus dan beberapa wanita lain.

- Beberapa pria memakai peci dan sarung, seperti Pak Harfan dan beberapa pria kampung lainnya.

Pakaian/busana yang dipakai sudah merupakan busana modern (kemeja, celana panjang, hem, dst)

Pelaksanaan Ibadah

Sholat saat di sekolahan

Tidak digambarkan

Nilai Toleransi

Masih nampak kuat (melayat saat kematian pak Harfan, saling tegur sapa)

Individualisme

Beberapa unsur di atas merupakan gambaran bagaimana unsur keagamaan masih kuat dijalankan oleh kalangan masyarakat bawah. Dalam kehidupan sehari-hari nilai-nilai keagamaan itu masih nampak nyata dan berpengaruh kuat. Sebaliknya, pada masyarakat kalangan atas – sebagai gambaran masyarakat modern, unsur keagamaan tidak begitu menonjol. Mungkin bisa dikatakan bahwa masyarakat modern dapat berfungsi sendiri tanpa agama. Masyarakat modern saat ini, di mana pemikiran, praktek, dan institusi keagamaan hanya merupakan bagian kecil saja, hanya mewarisi sedikit nilai-nilai, watak dan orientasi agama masa lampau.

C. Nilai Agama dan Pengaruhnya dalam Kegiatan Politik-Ekonomi Masyarakat

Dalam pembahasan kedua sub-judul atas kita telah melihat bagaimana keterkaitan antara agama dengan perbedaan kelas sosial masyarakat serta perbedaan cara pandang masyarakat terhadap nilai keagamaan. Pada bagian ini, kami akan mencoba untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana nilai-nilai agama itu berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana digambarkan film Laskar Pelangi. Ada dua nilai yang sangat nampak dalam film Laskar Pelangi ini, yakni akhlak yang mulia dan persahabatan.

1. Akhlak yang Mulia

Dalam film Laskar Pelangi kita melihat bahwa Pak Harfan sebagai guru dan kepala sekolah selalu menekankan pentingnya penggunaan akhlak yang benar. Supaya orang bisa berakhlak baik, hidup penuh iman dan peduli terhadap sesama, seseorang harus mau belajar dari sekolah yang didasari oleh nilai-nilai agama, lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Orang yang dikuasai oleh nafsu digambarkan seperti orang yang berkuasa dan haus akan kekayaan sehingga tidak punya kepedulian lagi terhadap lingkungan sekitar seperti yang diungkapkan Pak Harfan kepada Pak Zulkarnaen sahabatnya yang sekaligus donatur bagi SD Muhammadiyah Gantong.

Unsur akal dan nafsu, menurut James T. Siegel sangat dominan dalam Islam.[18] Orang Islam sangat menekankan pentingnya hidup berdasarkan akal yang benar dan mengendalikan nafsu. Dalam film Laskar Pelangi sangat nampak bahwa para murid diajarkan untuk berusaha semaksimal mungkin mengembangkan akal budi yang baik, berusaha meraih cita-cita dengan semangat dan ketegaran hati, dan memiliki kepedulian kepada sesama dan lingkungan. Pak Harfan sangat menekankan supaya para murid ”memberi sebanyak-banyaknya dan bukan menerima sebanyak-banyaknya”. Di sini ada unsur pengendalian nafsu, karena bila orang selalu ingin memperoleh atau menerima sebanyak-banyaknya maka itu menandakan bahwa orang itu masih hidup berdasarkan nafsu. Untuk itu, Pak Harfan dan Bu Muslimah, tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata, melainkan juga melalui tindakan dan perbuatan mereka sehari-hari baik di sekolah maupun di luar kegiatan belajar-mengajar.

2. Persahabatan

Dalam film Laskar Pelangi, kita juga melihat bahwa persahabatan tercipta karena adanya dinamika bersama dalam pergulatan hidup sehari-hari baik di rumah, di sekolah dan di dalam masyarakat. Persahabatan ini menciptakan bela rasa dan kebersamaan di antara Laskar Pelangi. Persahabatan ini semakin terasa erat ketika mereka mulai bisa berprestasi karena usaha bersama.

Pengalaman bersama di SD Muhammadiyah Gantong ini akan mempengaruhi bagaimana mereka berelasi di masa mereka tumbuh dewasa. Meski demikian, latar belakang kondisi ekonomi mereka masing-masing juga akan menentukan pula masa depan mereka. Apapun keadaan mereka di masa depan, yang pasti buah-buah penanaman nilai-nilai spiritualitas dan humaniora yang mereka dapatkan tetap lebih penting dan berharga dalam usaha mereka mencapai cita-cita hidup.


BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan penelitian ini, kami mencoba membuat beberapa kesimpulan dari tema penelitian kami. Beberapa kesimpulan itu adalah sebagai berikut:

1. Secara keseluruhan, film Laskar Pelangi mengandung unsur-unsur keagamaan dilihat dari sudut pandang sistem kebudayaan Clifford Geertz.

2. Kondisi faktual di Pulau Belitung dengan berbagai aspeknya sebagai latar belakang dari film Laskar Pelangi, digambarkan secara lengkap dalam film Laskar Pelangi.

3. Film Laskar Pelangi memberikan sumbangan besar bagi model pendidikan di Indonesia, terlebih dalam membangun karakter bangsa yang holistik, menyangkut berbagai aspek manusiawi.

4. Nilai-nilai keagamaan yang disampaikan melalui pendidikan berpengaruh pada cara berpikir masyarakat dalam kehidupan mereka.

5. Kondisi sosial-ekonomi masyarakat ikut berpengaruh terhadap rasa religius/keagamaan dalam diri mereka. Semakin tradisional pola pikir masyarakat, ternyata aspek keagamaan masih kuat tertanam. Sebaliknya semakin modern cara pikir orang/masyarakat, aspek keagamaan justru cenderung melemah.

B. Saran

Ada pun beberapa saran yang dapat kami berikan dari pembahasan penelitian kami ini adalah:

1. Hendaknya pola pendidikan lebih mengarahkan diri pada pola pendidikan yang holistik sehingga setiap aspek dalam diri manusia (naradidik) dapat dikembangkan secara optimal dan seimbang.

2. Hendaknya pemerintah lebih memperhatikan situasi pendidikan secara konkrit mulai dari “akar rumput” dan menyemangati para pelaku dalam pendidikan untuk terus berjuang demi masa depan bangsa.

3. Seiring dengan berkembangnya perubahan pola pikir masyarakat, hendaknya disadari pula peranan penting nilai-nilai keagamaan yang selama ini turut berpengaruh terhadap pola hidup manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Geertz, C.,

1992 Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta.

Lombard, D.,

1996 Nusa Jawa: Silang Budaya. Vol II. Jaringan Asia, Gramedia, Jakarta.

Pals, D., L.,

2001 Seven Theories of Religion (terj Ind), Qalam, Yogyakarta.

Abdullah, T., (ed)

1979 Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, LP3ES, Jakarta.

Sumber Internet:

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/16/otonomi/912821.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Belitung

http://www.bangkabelitungprov.go.id/content/view/121/27/lang,id_ID/

http://chendol.org/depag/files/dbaf14b18519f6d37b7433a2a8702455.pdf.

http://www.belitungtimur.com/beltim1/format_content.php?id_dbpage=3&bahasa=id

http://www.mail-archive.com/milis-muslim@yahoogroups.com/msg00576.html




[1] Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta 1992, hal 5.

[2] Bdk. Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion (terj Ind), Qalam, Yogyakarta 2001, hal.415

[3] Bdk. Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion, hal.416.

[4] Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion, hal.417.

[5] Pada bagian ini kami hanya akan mengkhususkan diri untuk melihat Kabupaten Belitung Timur karena Gantong, sebagai latar utama film Laskar Pelangi, merupakan salah satu wilayah dari kabupaten ini. Dalam pembahasan, kami akan banyak mengambil dari sumber http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/16/otonomi/912821.htm

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Belitung

[7] http://www.bangkabelitungprov.go.id/content/view/121/27/lang,id_ID/

[10] http://www.mail-archive.com/milis-muslim@yahoogroups.com/msg00576.html

[11] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Vol II. Jaringan Asia, Bab 3: “Stimulus Islam: Menuju Pemikiran Ruang Geografis dan Waktu Linier, Gramedia, Jakarta 1996, hal.205-242.

[12] Karl Mark, ”Agama Sebagai Alienasi” dalam Daniel L.Pals, Seven Theories of Religion, New York: Oxford University 1996. Terjemahan Bahasa Indonesia hal.219

[13] Karl Marx, “Agama Sebagai Alienasi,” hal.219.

[14] Karl Marx, “Agama Sebagai Alienasi,” hal 234.

[15] Karl Marx, “Agama Sebagai Alienasi,” hal 220.

[16] Karl Marx, “Agama Sebagai Alienasi,” hal 216.

[17] Karl Marx, “Agama Sebagai Alienasi,” hal 223.

[18] Lihat. James T.Siegel, “Perusahaan Dagang Aceh, Jaringan Sistem Penyebaran dan Agama Islam” dalam Taufik Abdullah (ed), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, LP3ES, Jakarta 1979, hal 187-227.