Jumat, 17 April 2009

Tanah dan Soal Ketidakadilan

Tanah dan Persoalan Ketidakadilan
Belajar dari Kisah Perebutan Kebun Anggur Nabot (1 Raj 21:1-16)

I. Pendahuluan
Fakta tentang ketidakadilan sosial seakan bukan menjadi hal yang asing lagi di hadapan kita saat ini. Kita bisa menyebutkan berbagai macam realita yang berkaitan dengan soal ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat kita. Ketidakadilan pada umumnya disebabkan oleh keinginan untuk memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain, disertai dengan cara-cara yang mengabaikan hak orang lain. Di sinilah muncul soal ketidakadilan.
Dari berbagai macam ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat, kita bisa menyebutkan persoalan perebutan tanah sebagai salah satu contoh dari fakta ketidakadilan. Di Indonesia, persoalan tentang kepemilikan tanah sering terjadi baik melalui proses yang benar (jual-beli) maupun dengan cara perebutan tanah atau pun penggusuran, baik oleh pemerintah atau pun oleh pihak-pihak berduit. Bahkan terjadi pula, negara – yang seharusnya menjadi perlindungan bagi seluruh rakyat, justru sering secara sepihak mengklaim kekuasaan atas tanah. Hal ini merupakan sebuah fakta ketidakadilan yang terjadi pada zaman ini.
Fakta ketidakadilan atas kepemilikan tanah itu ternyata juga pernah terjadi dalam Perjanjian Lama, yakni dalam kisah perebutan kebun anggur milik Nabot oleh raja Ahab dalam 1 Raj 21:1-29. Dari kisah tersebut, penulis mencoba untuk menganalisa secara lebih mendalam hal-hal apa saja yang sebenarnya melatarbelakangi terjadinya perebutan tanah, yang pada akhirnya mengorbankan nyawa Nabot sebagai pemilik tanah. Penulis ingin mencoba melihat konsep kepemilikan tanah seperti apakah yang melatarbelakangi Nabot untuk mempertahankan kebun anggurnya. Selain itu penulis juga mencoba untuk melihat bagaimana sikap yang muncul dalam menghadapi persoalan ketidakadilan. Seruan kenabian Elia menjadi gambaran bagaimana sikap yang muncul dalam melawan fakta ketidakadilan.

II. Struktur Kisah 1 Raj 21:1-29
Untuk memahami alur kisah Kebun Anggur Nabot, pertama-tama kita perlu melihat bagaimana teknik bercerita yang digunakan oleh narator. Teknik yang digunakan ini dapat dibagi dalam struktur kisah sebagai berikut:[1]
à 1-4 : Babak I : Ahab dan Nabot – problem dimunculkan
à 5-7 : Babak II : Ahab dan Izebel
à 8-16 : Babak III : Izebel – pemecahan problem
8-10 : Izebel mengirim surat berisi perintah
11-14 : perintah dilaksanakan
15-16 : problem terselesaikan – timbul problem baru
à 17-19 : Babak IV : YHWH – Elia – hukuman diumumkan
à 20-24 : Babak V : Elia – Ahab – hukuman disampaikan
à 25-26 : Komentar Narator
à 27-29 : Babak VI : Reaksi Ahab – hukuman diubah

III. Konsep Kepemilikan Tanah Bangsa Israel
a. Analisis Teks 1 Raj 21:1-16
Pada babak I (ayat 1-4) dikisahkan dialog antara Nabot dan Raja Ahab. Nabot adalah orang Yizreel yang mempunyai kebun anggur di samping istana Ahab, raja Samaria. Dialog dimulai ketika raja Ahab berkata kepada Nabot untuk memberikan kebun anggurnya kepada raja. Disebutkan dua alasan yang mendasari keinginan Ahab untuk memiliki kebun anggur Nabot, yaitu ingin menjadikannya kebun sayur dan letak kebun anggur Nabot yang berada dekat dengan istana Ahab. Permintaan Ahab ini pun dirumuskan dengan cukup sopan melalui proses transaksi yang umum berlaku, yakni: mengganti dengan kebun anggur lain yang lebih baik, atau membayarnya (membelinya). Ahab, sebagai seorang raja menurut aturan sebenarnya diperbolehkan mengambil ladang penduduk untuk diberikan kepada pegawai-pegawainya (1 Sam 8:14).
Tawaran Ahab ternyata ditolak oleh Nabot. Ia menolak tawaran Ahab untuk menyerahkan kebun anggurnya dengan mengatakan: “Kiranya TUHAN menghindarkan aku dari pada memberikan milik pusaka nenek moyangku kepadamu!” (ay 3). Menurut Jerome T.Wals dan Christopher T. Begg, penolakan ini didasarkan pada dua hal penting, yaitu horor religius (YHWH melarang) dan aturan hukum (tanah merupakan warisan leluhur, bdk Im 25:23-24).[2] Sikap Nabot ini oleh James A. Montgomery disebut sebagai sikap orang yang tak hanya mempunyai perasaan cinta kepada keluarganya, namun juga orang yang bertanggungjawab atas keluarganya.[3]
Jawaban Nabot ini membuat Ahab kesal dan gusar hatinya. Dalam babak II nampak bagaimana kekesalan hati Ahab tersebut berpengaruh pada saat ia berdiskusi dengan isterinya, Izebel (ay 6). Kedua alasan penolakan Nabot itu dimengerti sebagai penolakan tanpa kompromi oleh Ahab. Bahkan alasan religius yang disebutkan oleh Nabot tidak diungkapkan oleh Ahab saat berdiskusi dengan Izebel. Mendengar alasan itu, Izebel, putri raja Sidon, menilai penolakan Nabot itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja. Seorang petani tak sepatutnya menolak keinginan raja untuk mengambil tanah garapannya. Ini nampak dalam perkataannya: “Bukankah engkau sekarang yang memegang kuasa raja atas Israel? Bangunlah, makanlah dan biarlah hatimu gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu!” (ay 7).
Pada ayat 7 tersebut, Izebel menjanjikan kepada Ahab akan memberikan kebun anggur Nabot. Pemenuhan janji tersebut terpenuhi dalam babak III. Bagaimana cara Izebel memenuhi janjinya? Izebel mengambilalih kekuasaan Ahab. Ia menulis surat atas nama Ahab dan memeteraikannya atas nama raja, kemudian mengirimkannya kepada tua-tua dan pemuka-pemuka yang diam sekota dengan Nabot. Surat tersebut berisi perintah agar seluruh rakyat berpuasa dan menempatkan Nabot duduk paling depan di antara rakyat. Di sana Nabot diadili dengan alasan telah mengutuk YHWH. Izebel dengan cerdik telah memanipulasi peraturan Taurat untuk membenarkan kejahatan yang dirancangnya terhadap Nabot. Dalam tradisi Israel kuno, puasa umum dilakukan saat ada kebutuhan khusus, antara lain saat masyarakat menghadapi bencana besar atau kemalangan (Hak 20:26, 1 Sam 14:24, 2Taw 20:3) atau saat mereka melakukan dosa besar yang mengakibatkan murka YHWH (1 Sam 7:6).[4]
Akhirnya surat perintah tersebut dilaksanakan dan hukuman terhadap Nabot pun dilakukan. Nabot dihukum mati dengan cara dilempari batu dengan alasan bahwa ia telah mengutuk Allah dan raja. Mendengar berita kematian Nabot, Izebel segera memberitahukannya kepada Ahab. Akan tetapi Izebel tidak memberitahukan kepada Ahab alasan kematian Nabot. Ahab pun mengambil alih kebun anggur milik Nabot menjadi miliknya.
b. Konsep Kepemilikan Tanah Bangsa Israel
Dari uraian singkat di atas, kita bisa bertanya lebih jauh tentang penyebab utama permasalahan perebutan kebun anggur Nabot ini. Hukum seperti apa yang sebenarnya dipertahankan oleh Nabot sehingga ia menolak untuk memberikan kebun anggurnya kepada Ahab.
Di atas telah disinggung dua alasan Nabot mempertahankan kebun anggurnya, yakni horor religius dan aturan hukum. Pada bagian ini, penulis akan mencoba memperdalam kedua alasan ini.
i. Horor Religius
Bagi bangsa Israel, pemilik mutlak dari tanah adalah YHWH. Tanah dimengerti sebagai simbol pengikat perjanjian antara YHWH dengan Israel sejak para bapa bangsa mereka. Kepemilikan tanah dihayati sebagai tanda perhatian dan pemeliharaan YHWH atas Israel. Ketika orang Israel hidup dan dihidupi oleh tanah yang diwarisi dan diolahnya, hal itu dihayati sebagai tanda nyata kesetiaan YHWH atas perjanjianNya.
Demikian pula saat Israel memiliki raja yang berkuasa, kekuasaan raja itu pun tidak mutlak dan tak bisa semena-mena atas Israel. YHWH tetap diakui sebagai satu-satunya raja atas Israel (Hak 8:23; 1 Sam 12:12), sehingga Ia pun menjadi pemilik mutlak atas tanah. Tanah Suci adalah kekuasaan YHWH (Yos 22:19). Inilah tanah yang telah Ia janjikan kepada para Bapa Bangsa (Kej 12:7; 13:15; 15:18; 26:4; Kel 32:13; Bil 1:35-36), tanah yang Ia serahkan dan berikan kepada umatNya (Bil 32:4; Yos 23:3, 10; 24:11-13; Mzm 44:4).[5]
Kepemilikan YHWH secara mutlak atas tanah nampak dalam Im 25:23: “Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagiKu.” Oleh karena itu wajarlah bila Nabot, sebagai seorang yang mematuhi perjanjian dengan YHWH berusaha untuk mempertahankan tanahnya.
ii. Aturan Hukum
Sistem kepemilikan tanah dalam bangsa Israel berbeda dari beberapa sistem yang dianut oleh bangsa lain di sekitarnya. Dalam sistem kepemilikan tanah di Mesir, seluruh tanah merupakan milik Firaun atau para imam (Kej 47:20-26). Demikian pula di Kanaan, tanah merupakan milik penguasa sedangkan rakyat adalah petani buruh.
Bagi bangsa Israel aturan hukum kepemilikan tanah erat kaitannya dengan konsep religius, sebagaimana telah diungkapkan di atas. Tanah adalah warisan leluhur. Warisan itu terkait erat dengan perjanjian dan pengakuan akan YHWH sebagai pemilik tanah sesungguhnya. Oleh sebab itu tanah tidak bisa diserahterimakan kepada orang lain yang bukan dari suku mereka, terlebih kepada orang lain di luar bangsa Israel. Bahkan dalam situasi mendesak sekalipun, orang hanya bisa menjual tanah kepada saudara se-suku.
Kendati tanah merupakan milik YHWH, tanah bukanlah hal yang melulu sakral. Tanah juga merupakan fakta sosial-ekonomi yang diberikan oleh YHWH agar dimiliki oleh setiap orang Israel dan dari situlah mereka hidup. Israel mempunyai hak atas tanah, tetapi hak milik atas tanah itu bersifat sosial di mana hasil yang diperoleh dari tanah harus memberi manfaat bagi semua sehingga tak ada seorang pun yang lapar dan miskin di tanah yang diberikan YHWH itu (Ul 15:4).
Menurut Taurat, orang-orang yang tidak beruntung seperti para janda, yatim piatu, dan orang asing juga berhak atas hasil tanah yang diberikan YHWH. Hal itu diatur misalnya berkaitan dengan persepuluhan pada tahun ketiga (Ul 14:28), sisa sabitan gandum dan anggur (Im 19:9-10), orang miskin boleh mengambil gandum untuk dimakan di ladang namun tak boleh membawa pergi (Ul 23:24-25), pada tahun Sabat orang miskin boleh mengambil hasil kebun, anggur dan zaitun (Kel 23:10-11).
Selain gagasan di atas, kepemilikan tanah sebagai warisan leluhur yang tak boleh dijual berkaitan juga dengan konsep hidup sesudah mati dalam keyakinan orang Israel. Merujuk pada Yes 8:19a yang berbunyi: “Dan apabila orang berkata kepada kamu: ’Mintalah petunjuk kepada arwah dan roh-roh peramal yang berbisik-bisik dan komat-kamit,” serta kisah Saul dengan tukang tenun di En-Dor (1 Sam 28), dalam masyarakat Yahudi terdapat konsep kehidupan setelah kematian.
Orang yang sudah mati dalam arti tertentu masih mempunyai “kehidupan” maka wajarlah jika ada persembahan yang diberikan kepada orang yang sudah mati. Orang yang sudah mati tetap ”hidup” dengan amat terbatas sehingga membutuhkan bantuan dari orang yang masih hidup, terutama keturunannya. Tanah untuk menguburkan orang mati itu pun berada dalam tanah miliknya. Oleh karenanya tanah itu perlu dipertahankan untuk tetap menjaga kuburan leluhurnya serta tetap menjaga kelangsungan ibadah arwah yang menentukan kebahagiaan orang yang sudah meninggal itu.[6]

IV. Misi Kenabian Elia
Dalam babak IV dan V kita bisa melihat bagaimana YHWH bertindak atas kejahatan yang dilakukan oleh Ahab dan Izebel. Tindakan YHWH yang berupa tuduhan dan hukuman itu disampaikan oleh Elia, utusanNya. Sebagai “penyambung lidah YHWH” Elia ditampilkan sebagai sosok yang keras. Hal ini wajar karena tugasnya adalah menjalankan peran kritis terhadap Ahab dan Izebel, isterinya, yang cenderung membawa kerajaan utara menjauhi perjanjian dengan YHWH dan mendekatkan diri pada Baal.
Sebagaimana para nabi yang lain, tugas utama dari Elia adalah berjuang untuk mempertahankan identitas Israel dan kesetiaan mutlak YHWH berdasarkan perjanjian Sinai. Dan salah satu pokok perjanjian Sinai yang terkait dengan tanah dan harta milik adalah larangan menjual tanah warisan sebagaimana terjadi dalam kasus kebun anggur Nabot ini.
Misi kenabian yang dibawa oleh Elia ini nampak dalam tugas perutusan yang diembannya, sebagaimana dikatakan oleh YHWH sendiri. “Bangunlah, pergilah menemui Ahab, raja Israel yang di Samaria. Ia telah pergi ke kebun anggur Nabot untuk mengambil kebun itu menjadi miliknya. Katakanlah kepadanya, demikian: Beginilah firman TUHAN: Engkau telah membunuh serta merampas juga! Katakan pula kepadanya: Beginilah firman TUHAN: Di tempat anjing telah menjilat darah Nabot, di situ jugalah anjing akan menjilat darahmu”(ay 18-19).
Perintah tersebut terdiri dari dua bagian yaitu: tuduhan dan nubuat penghukuman. Ahab dituduh melakukan dua kejahatan: membunuh (bdk Kel 20:13) dan merampas (Kel 20:17). Hukuman yang harus diterima Ahab berupa quid pro quo, apa yang dilakukan, itulah yang harus diterima! Mata ganti mata, gigi ganti gigi![7] Hukuman yang akan diterima Ahab sama halnya dengan yang telah terjadi pada Nabot, yakni: “Di tempat anjing telah menjilat darah Nabot, di situ jugalah anjing akan menjilat darahmu” (ay 19)[8].
Baik tuduhan maupun hukuman pada ayat 19 tersebut mendapatkan penekanan yang kuat melalui rumusan pesan yang disampaikan YHWH secara penuh. Melalui rumusan hukuman itu pembaca mungkin dihadapkan pada kesulitan karena pernyataan tentang kisah Nabot setelah ia dilempari batu, yakni bagaimana anjing telah menjilat darah Nabot, tidak diceritakan sebelumnya. Namun demikian, ayat 19 memberi tekanan kuat tentang kata “darahmu.”[9]
Berhadapan dengan kesulitan ini, kita bisa menduga nasib Nabot sesudah dilempari batu: mayatnya tidak ada yang mengurusi sehingga anjing pun bisa menjilati darahnya. Ini menunjukkan bahwa Nabot nampaknya tidak mempunyai keluarga, atau setidaknya keluarganya tak berdaya untuk mengklaim kebun anggurnya sebagai warisan. Dalam 2Raj 9:26 dikatakan bahwa anak-anak Nabot juga dibunuh.[10]
Walaupun aktor utama dalam pembunuhan Nabot adalah Izebel, akan tetapi Ahab juga secara tak langsung terlibat dalam hal itu. Izebel, yang saat itu hanya sedikit disinggung – dia sebelumnya telah membunuh para nabi dan mengancam kehidupan Elia. Izebel memainkan peranan penting dalam pembunuhan Nabot. Keinginan Ahab yang ditolak untuk memiliki kebun anggur Nabot, mendorong usaha Izebel untuk mewujudkan keinginan Ahab itu. Di sinilah Ahab diam-diam menuruti Izebel dan memperoleh keuntungan.[11] Oleh karenanya ketika Elia datang kepadanya, Ahab memanggilnya sebagai musuh. “Sekarang engkau mendapat aku, hai musuhku?” (ay 20).
Hukuman yang dinubuatkan oleh Elia sebagaimana diperintahkan YHWH serupa dengan hukuman yang ditimpakan kepada keluarga Yerobeam bin Nebat (14:1-20) dan keluarga Baesa bin Ahia (15:33-16:7). Izebel pun tak luput dari hukuman YHWH. Ia akan dihukum dengan cara yang sangat mengerikan: “Anjing akan memakan Izebel dari tembok luar Yizreel” (ay 23).
Terhadap nubuat tentang kematian Ahab ini narator menyebutkan pelanggaran yang telah diperbuat oleh Ahab (ay 25-26). Penyampaian pelanggaran ini juga akan mendasari kisah pelenyapan keluarganya. Pelanggaran itu antara lain pernikahannya dengan Izebel dan menyembah berhala. Pelanggaran yang dilakukan Ahab ini mirip dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Salomo yang menikahi wanita asing dan menyebabkannya menyimpang dari YHWH (1 Raj 11:1-13). Demikian juga keinginan Ahab untuk memiliki kebun anggur Nabot, oleh Choon-Leon Seow dianggap sebagai sebuah penyimpangan karena keinginannya untuk memiliki tanah itu lebih besar daripada cintanya kepada YHWH.[12]
Mendengar nubuat Elia tentang kematiannya, Ahab menyesali seluruh perbuatannya. Dalam babak VI reaksi Ahab ini digambarkan secara dramatis: Ahab mengoyakkan pakaiannya, mengenakan kain kabung pada tubuhnya dan berpuasa. Bahkan ia tidur dengan memakai kain kabung, dan berjalan dengan langkah lamban (ay.27, bdk 2 Raj 22:11,19). Melihat hal ini, YHWH menunda hukuman itu dan menimpakan hukuman itu pada zaman anaknya. Penundaan pelaksanaan hukuman ini oleh narator disebut sebagai belaskasih YHWH dan akan tergenapi pada Ahazia, anak Ahab. Setelah kematian Ahazia, keturunan Ahab sudah berakhir (2 Raj 1:1-18).
Inilah misi kenabian Elia untuk mempertahankan identitas Israel dan kesetiaan mutlak YHWH berdasarkan perjanjian Sinai.

V. Penutup
Dari pembahasan tentang kisah kebun anggur Nabot di atas, kita bisa melihat bahwa unsur ketidakadilan dapat memberangus hak dan akses hidup orang lain. Kisah perampasan kebun anggut Nabot oleh raja Ahab merupakan sebuah gambaran tentang model kekuasaan yang “haus darah.” Ahab (dan Izebel) mengingkari dan merampas hak rakyat atas tanah yang merupakan akses rakyat untuk hidup. Perampasan ini pada akhirnya juga merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi dan hak asasi atas hidup.
Di sisi lain, Nabot adalah gambaran korban kerakusan penguasa yang “haus darah.” Ia adalah gambaran orang-orang tak berdaya yang mengalami ketidakadilan. Nasib yang dialami oleh Nabot dalam memperjuangkan hak sosial-ekonomi dan hak asasi atas hidup itu mewakili jutaan korban ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa di masa ini.
Oleh karena itu, kisah kebun anggur Nabot ini tetap relevan untuk meneropong persoalan penindasan dan ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Misi kenabian yang dijalankan oleh Elia dalam menegakkan hukum menjadi gambaran bagi kita untuk turut serta menyuarakan dan memperjuangkan keadilan bagi segala bidang kehidupan.





DAFTAR PUSTAKA
Brown, R.E., - Joseph A. Fitzmyr - Roland E.Murphy,
1996 The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, London
Choon-Leong Seow,
1994 “The First and Second Books of Kings” dalam Leander E.Keck, The New Interpreter’s Bible, Abingdon Press, Nashville
de Vaux, Roland,
1961 Ancient Israel Its Life and Institutions, McGraw-Hill Book Company, New York
Indra Sanjaya, V., Pr.,
2007 “Kitab-kitab Sejarah”, Pro-Manuscripto, Fakultas Teologi Wedhabakti, Yogyakarta
Laffey, A.L., RSM.,
2002 “I-II Raja-Raja” dalam Dianne Bergant, CSA dan Robert J.Karris, OFM (Eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta
Montgomery, J.A.,
1986 The InternationalCritical Commentary on The Book of Kings, T.&T.Clark Ltd., Edinburgh
Nelson, R.,
1987 Interpretation First and Second Kings, John Knox Press Louisville, Kentucky

[1] V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, Pro-Manuscripto, Fakultas Teologi Wedhabakti, Yogyakarta 2007, hal 80
[2] Bdk. Raymond E. Brown, Joseph A. Fitzmyr, Roland E.Murphy, The New Jerome Biblical Commentary, Geoffrey Chapman, London 1996, hal.174.
[3] James A. Montgomery, The InternationalCritical Commentary on The Book of Kings, T.&T.Clark Ltd., Edinburgh 1986, hal 330.
[4] Bdk. Choon-Leong Seow, “The First and Second Books of Kings” dalam Leander E.Keck, The New Interpreter’s Bible, Abingdon Press, Nashville 1994, hal 156.
[5] Bdk.Roland de Vaux, Ancient Israel Its Life and Institutions, McGraw-Hill Book Company, New York 1961, hal 164-165.
[6] Bdk. V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, hal.54-55.
[7] V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, hal.84
[8] Kisah kematian Ahab digambarkan dalam 1 Raj 22:34-40. Pada ayat 38 digambarkan bagaimana darah Ahab juga dijilat anjing.
[9] Bdk. Richard Nelson, Interpretation First and Second Kings, John Knox Press Louisville, Kentucky 1987, hal. 143
[10] V.Indra Sanjaya Pr, “Kitab-kitab Sejarah”, hal.84
[11] Alice L.Laffey, RSM, “I-II Raja-Raja” dalam Dianne Bergant, CSA dan Robert J.Karris, OFM (Eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta 2002, hal.325.
[12] Bdk. Choon-Leong Seow, “The First and Second Books of Kings” dalam Leander E.Keck, The New Interpreter’s Bible, Abingdon Press, Nashville 1994, hal. 158-159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar