Rabu, 18 Februari 2009

FERNANDO LUGO MENDEZ

Tanggalkan Jabatan Uskup demi Kaum Miskin

Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin.
Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda.
Kalau saya berada di istana kepresidenan,
posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.
(Fernando Lugo Mendez)

PENDAHULUAN
Pelantikan mantan uskup, Fernando Armindo Lugo Mendez (selanjutnya akan disebut Lugo), yang terpilih sebagai presiden Paraguay, mengakhiri kekuasaan selama 61 tahun Partai Colorado, yang berkuasa sebelum-selama-sesudah diktator Stroessner dari 1954-1989. Lugo mulai memerintah sejak 15 Agustus 2008.[1]
Pelantikan Lugo sebagai presiden memang membawa sebuah harapan baru bagi negara Paraguay. Namun di pihak lain, yakni Gereja, pelantikannya sebagai presiden masih meninggalkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab. Sejumlah komentar mencuat dari peristiwa ini. Bukannya pertanyaan yang tanpa alasan, namun pertanyaan yang muncul mempunyai dasarnya terlebih dihadapkan pada hukum Gereja yang berlaku.
Seorang uskup menanggalkan jabatannya untuk menjadi presiden? Kiranya ini merupakan satu pertanyaan awal yang muncul dalam benak penulis berkaitan dengan persoalan ini. Pertanyaan ini tentunya masih bisa berlanjut dengan berbagai pertanyaan lainnya di seputar peristiwa yang baru saja terjadi di Paraguay ini. Memang, pertanyaan yang wajar diungkapkan menyikapi peristiwa ini, bukan hanya di kalangan Gereja, namun juga kalangan umum. ”Seorang uskup harus berada di luar lapangan, menganalisa situasi sosial, dan mendampingi umat dalam politik,” tegas (mantan) Presiden Paraguay, Nicanor Duarte Frutos menanggapi pencalonan Lugo sebagai presiden.[2]
Di pihak Lugo keputusannya meninggalkan jabatan uskupnya untuk menjadi presiden tentu beralasan, yakni keprihatinannya terhadap kaum miskin di negaranya. Keprihatinan ini mendorong uskup penganut Teologi Pembebasan ini untuk mengambil jalan lain dalam memperjuangkan kesejahteraan bagi negaranya. Jalan yang dipilihnya yakni terjun langsung dalam dunia politik praktis, dengan menjadi presiden yang terjawab dengan kemenangannya dalam pemilu 20 April 2008. Ia memperoleh 41 % suara dalam pemilu tersebut, mengungguli Blanca Ovelar (yang merebut 31 % suara) serta Lino Oviedo (22 %). Suara yang ia perolehnya pun berasal dari koalisi oposisi dan rakyat kecil.[3] Dengan demikian jelaslah bahwa Lugo menjadi tumpuan harapan bagi rakyat miskin di Paraguay. Akankah Lugo mampu mewujudkan harapan rakyatnya dengan membawa perubahan bagi negaranya? Bagaimana Gereja belajar dari pengalaman ini, terlebih dalam merumuskan kembali misinya di tengah dunia?

HIDUP DI TENGAH KAUM MISKIN DAN TERPINGGIRKAN
Keputusan Lugo menanggalkan jabatan uskup dan memutuskan menjadi presiden tak bisa lepas dari latar belakang hidupnya. Fernando Lugo dilahirkan di San Pedro del Parana, Paraguay 30 Mei 1951. Keluarganya bukanlah sebuah keluarga yang taat dalam praktek keagamaan, setidaknya ia jarang melihat ayahnya pergi ke gereja. Namun, ia dibesarkan dalam situasi keluarga yang bernuansa politik. Pamannya, Epifanio Mendes Fleitas adalah anggota Partai Colorado yang membelot serta pernah dianiaya dan dikucilkan oleh rezim Jenderal Stroessner, sedangkan ayahnya pernah dipenjara selama dua puluh kali dan beberapa saudaranya juga pernah diasingkan.
Pendidikan dasar dijalaninya di sebuah sekolah keagamaan di Encarnacion. Pada usia 17 tahun ia melawan keinginan ayahnya yang menginginkannya menjadi seorang pengacara. Ia masuk ke sekolah keguruan dan mulai mengajar di sebuah pedesaan. Di sini perhatiannya terhadap orang terpinggirkan mulai tertanam. Ia sangat diterima oleh masyarakat di sana, yang sangat kuat dalam keagamaan, meskipun tidak mempunyai imam. Dari pengalamannya ini, ia merasa bahwa Allah memanggilnya untuk menjadi imam. Ia memutuskan untuk bergabung dengan seminari Serikat Sabda Allah (SVD) pada usia 19 tahun.
Lugo ditahbiskan menjadi imam pada 15 Agustus 1977 dan ditugaskan sebagai misionaris di Ekuador selama 5 tahun. Di sanalah ia mulai belajar tentang Teologi Pembebasan. Tahun 1982 ia kembali ke Paraguay dan setahun kemudian ia diusir dari negara tersebut oleh pemerintahan Jenderal Stoessner karena aktivitas politik kemanusiaannya. Akhirnya, Gereja mengirimnya ke Roma untuk studi lanjut. Pada tahun 1987 Lugo kembali ke tanah airnya dan dua tahun kemudian runtuhlah kekuasaan diktator Stroessner. Ia ditahbiskan sebagai Uskup pada 17 April 1994 dan bertugas di keuskupan termiskin di San Pedro.
Saat bertugas di San Pedro inilah dia mengalami bagaimana penderitaan umatnya. Pada 11 Januari 2005 ia mengundurkan diri sebagai uskup dan mendukung demonstrasi untuk menggulingkan kekuasaan diktator pada 29 Maret 2006.[4] Lugo pun meneruskan perjuangannya ini dengan mencalonkan diri sebagai presiden. Ia pun meminta laikalisasi dari Vatikan, namun Paus menolaknya atas dasar bahwa seorang uskup tak dapat meminta izin laikalisasi. Paus juga menolak memberikan izin kanonik baginya untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Ia tetap bertahan pada pilihannya.
Pada 20 April 2008, Lugo mengalahkan lawan politiknya dari Partai Colorado. Pada tanggal 15 Agustus 2008, ia dilantik sebagai presiden Paraguay. Ia juga menyatakan bahwa tidak akan menerima gaji sebagai presiden. Lugo, yang dikenal sebagai uskup kaum miskin (Bishop of the Poor) juga menjanjikan untuk memberikan tanah bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah serta menghentikan praktek korupsi di negara Paraguay.[5]

USKUP YANG TIDAK SETIA PADA GEREJA (?)
Keputusan Lugo menanggalkan jabatan uskupnya memang menjadi satu permasalahan dalam Gereja Katolik. Sebagai seorang klerus, bahkan uskup, keputusannya untuk menjadi presiden harus berhadapan dengan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Secara tegas Gereja mengatur keterlibatan seorang klerusnya dalam dunia perpolitikan. Hukum itu dinyatakan dalam KHK 285 § 3 dan 287 § 2, sebagai berikut:
”Para klerikus dilarang menerima jabatan-jabatan publik yang membawa-serta partisipasi dalam pelaksanaan kuasa sipil” (KHK 285 § 3), dan
”Janganlah mereka (klerikus) turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh, kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum” (KHK 287 § 2).
Jelaslah bahwa keputusan Lugo tersebut bertentangan dengan Hukum Kanonik Gereja. Keputusannya memilih menjadi presiden menjadi indikasi ketidaksetiaannya pada Gereja Katolik. Secara prosedural, ia memang telah mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai uskup. ”Mulai hari ini, gereja katedralku adalah negara dan bangsa ini”[6], kata Lugo mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan uskup pada 25 Desember 2007.
Kendati bertentangan dengan Hukum Kanonik, Lugo tetap berpegang pada pendiriannya. Keprihatinannya telah mendorong untuk membuat suatu keputusan tegas. Nampaknya latar belakang Teologi Pembebasan yang dianutnya menjadi salah satu pendorong baginya untuk memilih jalan berpihak pada mereka yang miskin. Baginya, statusnya sebagai uskup tak akan cukup berpengaruh untuk memperbaiki keadaan kemiskinan yang ada.[7] Hal ini sejalan dengan pola pemikiran yang ada dalam Teologi Pembebasan yang dianutnya:
Only authentic solidarity with the poor and a real protest against the poverty of our time can provide the concrete, vital context necessary for a theological discussion of poverty. The absence of a sufficient commitment to the poor, the marginated, and the exploited is perhaps the fundamental reason why we have no solid contemporary reflection on the witness of poverty.[8]

Bagi Lugo, dengan menjadi presiden yang berarti terjun langsung dalam sistem pemerintahan, merupakan wujud solidaritasnya yang nyata bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Keputusan Lugo untuk berpihak pada yang miskin sebenarnya juga menjadi salah satu agenda Gereja Katolik dalam seluruh pewartaannya. Gereja juga memihak kepada mereka yang miskin (preferential option for the poor). Ini menjadi sebuah tantangan yang mesti dijawab oleh Gereja dalam mewujudkan pesan Yesus yang ingin mewartakan Kabar Gembira bagi orang miskin.
Semangat preferential option for the poor yang ditularkan Yesus ini pula telah mendorong Gereja untuk berpikir bagaimana mewartakan Kabar Gembira itu di tengah mereka yang terbuang, tertindas, dan tersingkir dari masyarakat. Mengutamakan kaum miskin berarti memberi perhatian, perlakuan khusus, preferensi bagi rakyat atau kelompok-kelompok pinggiran dalam masyarakat. Sikap Gereja untuk mengutamakan kaum miskin ini akhirnya terjawab dalam Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII (1891). Ini merupakan langkah besar bagi Gereja di mana Gereja secara tegas menempatkan diri pada pihak kaum miskin dan kaum buruh.[9]
Secara sekilas kita bisa melihat adanya kontradiksi yang terjadi dalam kebijaksanaan Gereja berkaitan dengan masalah Lugo. Di satu sisi, Gereja melarang para klerusnya untuk terjun dalam dunia politik praktis, di sisi lain semangat memihak kaum miskin (preferential option for the poor) dalam Gereja perlu mencari langkah yang tepat untuk menyatakannya. Dalam hal ini Lugo berada dalam posisi yang cukup sulit. Mungkin ini pula yang membuat Vatikan tidak mengekskomunikasi Lugo, melainkan hanya memlarang Lugo untuk melaksanakan tugas imamatnya. Bahkan pada Juli 2008 Paus Benediktus XVI menerima permohonan laikalisasinya di mana hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.[10]

REALITAS KEMISKINAN: SEBUAH TANTANGAN YANG HARUS DIHADAPI
Kemiskinan adalah tema yang diangkat oleh Lugo dalam pencalonannya sebagai presiden. Niat awal yang mendorongnya meninggalkan jabatan uskupnya ialah keprihatinannya terhadap kemiskinan negaranya, terlebih saat negaranya dikuasai oleh pemerintahan yang korup. Ia merasa perlu terjun langsung dalam pemerintahan untuk memperbaiki seluruh sistem dalam negaranya. Kesejahteraan Paraguay menjadi tantangan yang dihadapinya saat ini sebagai seorang presiden.
Paraguay adalah negara dengan luas 406.752 km dengan populasi penduduk 5.773.000 jiwa (data tahun 2004). Sebagian besar tanah di sana merupakan tanah berpasir dan tidak subur, hanya seperlima bagian tanah saja yang bisa dikelola untuk pertanian. Namun sistem kepemilikan tanah yang ada di sana membuat penduduk setempat tidak memiliki lahan pribadi.[11]
Di kawasan Amerika Latin, Paraguay merupakan negara termiskin. Pendapatan utama bersumber dari produk-produk pertanian, terutama kedelai dan produk turunannya. Pada tahun 2007 produk dari kedelai ini menyumbang 2390 juta dolar AS, lebih setengah hasil ekspornya. Tingkat pertumbuhan ekonominya pun sebenarnya cukup bagus yakni 6,4 persen per tahun dan dapat mencukupi untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun karena pemerintahan yang diktator, korupsi dan nepotisme; maka status negara termiskin bagi Paraguay tak bisa dielakkan.[12]

BERKUASA UNTUK RAKYAT[13]
Malam sebelum pelantikannya sebagai presiden, Lugo mengatakan akan menolak menerima gaji presiden sekitar 4000 dollar AS (sekitar Rp 37 juta) per bulan. Hal ini tentu saja merupakan hal yang baru di dunia perpolitikan, yang seringkali digunakan sebagai sarana memperoleh status ekonomi yang lebih baik. Pernyataan Lugo ini menjadi salah satu bukti atas keberpihakannya kepada kaum miskin. Uang tersebut akan diperuntukkan bagi rakyatnya yang papa.
Komitmen Lugo ini sangat bertentangan dengan apa yang kebanyakan dilakukan oleh para politikus di dunia. Banyak orang berlomba merebut kekuasaan, namun hanya sedikit yang sadar bahwa memegang kekuasaan itu mengandung kewajiban. Kekuasaan di satu sisi menjadi hal yang begitu menggiurkan, sehingga banyak orang berlomba untuk mendapatkannya. Namun di sisi lain kekuasaan justru melahirkan bencana saat dilakukan tidak semestinya, yakni demi kepuasan diri, sebagaimana dilakukan oleh pendahulunya yang begitu korup. Bagi Lugo, kekuasaan yang diperolehnya harus dikembalikan kembali kepada pemberi kekuasaan itu sendiri yakni rakyatnya.

PENUTUP: SEBUAH REFLEKSI BAGI GEREJA
Keputusan Lugo menanggalkan imamat dan jabatan uskup tetap menjadi sebuah hal yang baru dan patut dipertanyakan. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah keterlibatan seorang mantan uskup dalam politik akan membawa perubahan yang lebih baik daripada kaum awam? Menjawab pertanyaan ini, kita sudah bisa belajar dari dua pendahulu Lugo yakni Kardinal Scoto dari Nicaragua dan mantan imam Jean-Bertrand Aristide dari Haiti. Keadaan negaranya tidak menunjukkan hal yang lebih baik. Bagaimana dengan Presiden Lugo?
Lepas dari berhasil tidaknya Lugo dalam mengemban tugas, fenomena uskup menjadi presiden ini menjadi sebuah tugas bagi Gereja. Dihadapkan pada Hukum Gereja, mungkin Lugo bisa dipersalahkan. Namun kenyataan kemiskinan, yang menjadi option Gereja terus menerus hadir sebagai sebuah problema. Sudah sebarusnya Gereja merumuskan kembali misinya di tengah dunia, terutama berhadapan situasi aktual yang ada saat ini. Sebuah misi yang dapat menjawab tantangan dan tuntutan zaman.

DAFTAR PUSTAKA
Banawiratma, J.B., SJ.,
1988 ”Pilihan Mengutamakan Kaum Miskin dalan Ajaran Sosial Gereja”, dalam JB.Banawiratma (Ed), Aspek-aspek Teologi Sosial, Kanisius, Yogyakarta.
Barrionuevo, A.,
2008 “Difficult Road Ahead for New Paraguay Leader”, dalam http://www.nytimes.com
Bhisu, M., dkk,
2007 ”Uskup Bandel”, Hidup, 18 Maret.
Gutierrez, G.,
1973 A Theology of Liberation, Orbis Books, New York.
Hebblethwaite, M.,
2008 ”Former bishop ends party’s 60-year rule”, The Tablet, 26 April.
2008 “Lugo’s New Calling”, dalam The Tablet, 26 April.
http://karodalnet.blogspot.com
Kompas,
2008 “Berkuasa untuk Rakyat”, Kompas, Senin 18 Agustus.
Tjahto Widyasmoro, T.,
2008 “Fernando Lugo Presiden Rakyat Miskin”, Intisari, Juli 2008.
www.ayomerdeka.wordpress.com/
___________,
2006 “Paraguay”, Ensiclopaedia Britannica. Akses 28 Agustus 2008.

Catatan kaki:
[1] Bdk. Margaret Hebblethwaite, “Former bishop ends party’s 60-year rule”, The Tablet, 26 April 2008, hal.40
[2] Martin Bhisu, dkk, “Uskup Bandel”, Hidup, 18 Maret 2007, hal.10
[3] Bdk. T.Tjahto Widyasmoro, “Fernando Lugo Presiden Rakyat Miskin”, Intisari, Juli 2008, hal.64
[4] Bdk. Margaret Hebblethwaite, “Lugo’s New Calling”, dalam The Tablet, 26 April 2008, hal 17.
[5] Newyork Times dalam http://www.nytimes.com/
[6] T.Tjahto Widyasmoro, “Fernando Lugo Presiden Rakyat Miskin”, Intisari, Juli 2008, hal.67
[7] Bdk. http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/23/00561347/lugo.asa.rakyat.miskin.paraguay
8 Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation,Orbis Books, New York 1973, hal.302.

[9] Bdk. J.B.Banawiratma, SJ, “Pilihan Mengutamakan Kaum Miskin dalam Ajaran Sosial Gereja,” dalam Aspek-aspek Teologi Sosial, Kanisius, Yogyakarta 1988, 157-174.
[10] Lih.Alexei Barrionuevo, “Difficult Road Ahead for New Paraguay Leader”, dalam
http://www.nytimes.com/2008/08/16/world/americas/16paraguay.html?_r=1&oref=slogin
[11] Bdk "Paraguay."Encyclopædia Britannica from Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD .[Accessed August 28, 2008].

12 Bdk. www.ayomerdeka.wordpress.com/ dan http://karodalnet.blogspot.com/2008_08_01_archive.html
13 Lihat dalam Tajuk, “Berkuasa untuk Rakyat” Kompas, Senin 18 Agustus 2008, hal.6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar