Senin, 15 Juni 2009

Konsep Iman Wahyu Budhisme

Konsep Wahyu-Iman dalam Buddhisme

Latar Belakang
Sebagai seorang mahasiswa teologi, yang notabene merupakan calon pemimpin dalam agama, kiranya penting untuk memiliki pandangan yang luas tentang berbagai hal. Salah satu hal yang mendesak untuk dimiliki adalah pemahaman terhadap agama-agama lain, terlebih berhadapan dengan konteks nyata Bangsa Indonesia yang plural dalam berbagai hal, khususnya bermacam agama yang dianut oleh para warga Negara Indonesia. Pemahaman terhadap agama-agama lain ini diharapkan akan semakin membuka cakrawala yang lebih luas sehingga pada akhirnya tumbuh sikap keterbukaan terhadap penghayatan agama lain. Keterbukaan inilah yang akan dapat semakin membuka peluang terjalinnya hubungan harmonis antar pemeluk agama.
Dilatarbelakangi oleh optimisme akan terciptanya suatu hubungan harmonis di Indonesia inilah penulis mencoba membuka wawasan dalam pemahaman salah satu agama di Indonesia, yakni Buddhisme. Melalui tulisan ini, penulis mencoba melihat bagaimana konsep wahyu dan iman dalam Buddhisme. Tentunya pemahaman wahyu dan iman dalam Buddhisme ini tidak penulis lihat sebagaimana pemahaman wahyu-iman dalam agama Kristiani, agama yang penulis imani karena perbedaan kategori-kategori yang dipergunakan antar kedua agama tersebut. Sedapat mungkin penulis berusaha untuk memahami pemahaman wahyu-iman dalam konteks Buddhisme.

Konsep Wahyu dalam Buddhisme
Konsep wahyu dalam Buddhisme tak bisa dilepaskan dari pengalaman pencerahan yang dialami oleh Pangeran Siddharta Gautama (yang kelak disebut sebagai Sang Buddha). Pangeran Siddharta lahir sekitar tahun 560 SM[1] di lereng Himalaya. Legenda kelahiranNya mengisahkan bahwa kelahiranNya di dunia ini sudah dipersiapkan secara khusus dengan berbagai peristiwa ajaib yang menunjukkan keistimewaanNya. Raja Suddhodaba yang telah menikah selama 20 tahun belum mempunyai keturunan. Siddharta lahir dari Surga Tushita dan masuk ke rahim ibunya, Dewi Mahamaya dalam rupa gajah putih. Sepuluh bulan kemudian Ia dilahirkan secara khusus. Semuanya merasa bahagia, bahkan langit dan bumi pun seolah-olah ikut menyambutNya. Siddharta lahir bersih, suci, tanpa noda. Air mengalir dari langit membersihkan ibu dan bayinya. Lima hari kemudian Ia diberi nama Siddharta yang berarti “tercapailah cita-citaNya.” Namun satu minggu setelah kelahiranNya, Dewi Mahamaya meninggal dunia. Semenjak itu, Ia diasuh oleh saudari ibuNya yakni Dewi Mahaprajapati di lingkungan istana.[2]
Kehidupan di istana membuatNya tak mengenal kehidupan di luar istana. Ia sama sekali tak diperbolehkan keluar istana. Pada usia 29 tahun, Ia menikah dengan Yashodara dan mempunyai seorang anak yakni Rahula, yang berarti “belenggu”. Pemberian nama ini kemungkinan besar dilatarbelakangi oleh perasaan Siddharta yang merasa terbelenggu dengan gaya hidup yang dialamiNya. Perlahan-lahan Ia berhasil keluar dari istana. Dalam perjalananNya keluar istana inilah Ia mendapatkan empat pengalaman yang pada akhirnya menjadikan kegelisahan dalam hidupnya. Keempat pengalaman itu disebut sebagai Penampakan Agung[3], yakni:
1. Orang Tua
Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan menyaksikan betapa usia tua itu menghancurkan ingatan, keindahan, dan keperkasaan. Ia tidak pernah bertemu orang tua sebelumnya.
2. Orang Sakit
Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan; Ia merasa shock melihat penderitaan demikian. Sebelumnya Ia tak pernah melihat dan mengalami penderitaan seperti itu.
3. Mayat
Ia melihat orang sedang menangis dalam duka dan prosesi pemakaman. PerasaanNya sangat terganggu oleh suasana penderitaan karena kematian karena sebelumnya Ia tak pernah melihat peristiwa kematian.
4. Petapa
Ia melihat seorang suci sedang mengembara berjalan berkeliling dengan mangkok derma di tangannya. Petapa itu begitu nampak gembira.
Sejak saat itulah terjadi perubahan dalam diri Siddharta dan Ia mulai memahami bahwa semua kesenangan hidup tak berarti. Ia merindukan pengetahuan akan kebenaran. Maka pada tengah malam Ia pergi meninggalkan istana untuk mencari pengetahuan akan kebenaran itu. Ia bergabung dengan banyak orang suci.
Pertama-tama Ia berlatih yoga, kemudian hidup sangat miskin selama lima tahun bersama lima temannya. Namun Ia belum mendapatkan pengetahuan itu. Pada masa kedelapan, Ia duduk bersila di bawah pohon ara dekat sungai Nairanjana. Di bawah pohon itulah Ia bermeditasi selama tiga malam dan saat itulah Ia mendapatkan pencerahan. Selama tiga malam itu Ia berhasil melewati godaan Mara, roh jahat yang berusaha menghentikan niatnya. Malam pertama Ia melihat seluruh kehidupan pertamanya, yakni suasana kemegahan dalam istana. Malam kedua Ia melihat lingkaran kelahiran, kehidupan dan kematian dan hukum yang menguasainya. Malam ketiga Ia mengerti tentang Empat Kebenaran Mulia yakni: keseluruhan adalah penderitaan, asal-usul penderitaan, penyembuhan penderitaan, dan jalan menemukan penyembuhan penderitaan[4].
Setelah mengalami pencerahan inilah Sang Buddha mulai memberikan pengajaranNya untuk membantu orang lain mencapai Nirvana.

Konsep Iman dalam Buddhisme
Sang Buddha setelah berhasil mengalami pencerahan tidak langsung masuk ke Nirvana. Ia memutuskan untuk membatalkan kepergianNya ke Nirvana agar dapat mengajarkan visinya, yakni Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Beruas Delapan. Oleh sebab itu, konsep iman dalam Buddhisme tak bisa lepas dari visi Sang Buddha ini.
Dalam Keempat Kebenaran Mulia tersebut diajarkan bahwa sepanjang hidupnya manusia mengalami penderitaan yang disebabkan oleh keinginan manusia akan hal-hal duniawi. Agar dapat terlepas dari penderitaan itu, setiap manusia harus melepaskan keinginan akan hal-hal duniawi, yakni dengan mengikuti Jalan Beruas Delapan[5]. Dengan mengikuti Jalan Beruas Delapan ini seseorang akan terlepas dari lingkaran kehidupan. Mereka telah mencapai pencerahan.
Orang yang telah mencapai pencerahan selanjutnya akan terlepas dari penderitaan menuju Nirvana. Lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian yang tanpa akhir disebut samsara, yang artinya “pengembaraan tiada akhir”. Semua makhluk hidup tak bisa lepas dari lingkaran ini sampai mereka mencapai Nirvana, tempat di mana keadaan nafsu yang berkobar-kobar dan keserakahan dipadamkan. Maka semua orang berusaha untuk mencapai Nirvana.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam mencapai Nirvana, umat atau biarawan Buddhisme mengakui bahwa ia berlindung di dalam Buddha, Dharma (ajaran), dan Sangha (aturan). Oleh karenannya, siapa pun yang menyebut dirinya Buddhis melibatkan dirinya pada perwujudan suatu cita-cita dengan mengikuti suatu cara hidup di dalam kelompok orang yang juga terlibat dalam cita-cita yang sama. Keterlibatan ini dikenal sebagai “Mencari Perlindungan” kepada ketiga permata. Tindakan ini dapat mengambil bentuk seremonial, walaupun pada hakekatnya merupakan suatu pengalaman religius dan batiniah yang mendalam.
Ketiga permata yang dimaksud yakni Buddha, Dharma, dan Sangha. Buddha tidak dipahami dalam arti historis saja, namun sebagai cita-cita penerangan di dalam kenyataan universal dan terakhir. Dharma bukan saja keseluruhan pengajaran Buddha, melainkan seluruh ajaran moral dan rohani yang ditemukan dan diwahyukan olehNya. Sangha adalah komunitas rohani dari mereka yang berusaha mengalami pengalaman rohani menurut jalan Buddhis.[6]
Penutup
Dari uraian singkat di atas, cukup sulit untuk memahami Buddhisme sebagai sebuah agama menurut pengertian agama sebagai “segenap kepercayaan kepada Tuhan serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.”[7] Kesulitan tersebut disebabkan karena konsep “kepercayaan kepada Tuhan” dalam Buddhisme tidak ada. Persoalannya bukan terletak pada apakah Buddhisme dapat disebut sebagai agama menurut definisi tersebut, melainkan persoalannya terletak pada “definisi” itu sendiri yang mendasarkan diri pada agama yang disebut teis.
Agama teis berbeda dari agama monis, di mana subyek insani berbeda dengan Yang Ilahi, yang dalam agama monis distinksi tersebut tidak ada.[8] Maka dilihat dari uraian tentang konsep iman dan wahyu di atas, Buddhisme dapat dikategorikan sebagai agama monis. Dalam hal pewahyuan, nampak pula perbedaan antara agama teis dengan agama monis. Dalam agama teis, pewahyuan berasal dari “luar” sedangkan dalam agama monis pewahyuan berasal dari pengalaman batin. Agama teis menggabungkan diri pada pengalaman wahyu seorang “nabi”, sedangkan dalam agama monis pengalaman orang lain itu dapat menjadi alasan dan bimbingan untuk pengalaman sendiri karena bagi setiap orang agama merupakan pengalaman pribadi.
Demikian pula ekspresi iman dalam Buddhisme tidak ditekankan sebagaimana terdapat dalam agama teis. Bagi Buddhisme ekspresi iman tak menambahkan sesuatu pada pengalaman batin, malah seringkali mengaburkannya. Pengalaman batin tak perlu ditonjolkan secara khusus karena pengalaman itu merupakan pengalaman hidup pada taraf yang dalam. Oleh seorang Buddhis seluruh hidup dihayati secara mendalam, bukan hanya saat-saat tertentu yang diberi arti religius khusus sebagaimana banyak dijalankan oleh agama-agama teis.
DAFTAR PUSTAKA

Dhavamony, Mariasusai,
1995 Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta
Jacobs SJ., Tom,
2002 Paham Allah, Kanisius, Yogyakarta
Keene, Michael,
2006 Agama-agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta
Kusaladhamma, Bhikkhu,
2006 Kronologi Hidup Buddha, Pustaka Karaniya
Poerwadarminta, W.J.S.,
1993 Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Snelling, J.,
1987 The Buddhist Handbook, Rider, London
[1] Ada berbagai versi kisah mengenai tahun kelahiran Pangeran Siddharta. Namun tahun 560 SM sebagaimana disebutkan di sini, penulis ambil dari sumber: Michael Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta: 2006, hal.68.
[2] Bdk. J.Snelling, The Buddhist Handbook, Rider, London: 1987, hal.20.
[3] Bhikkhu Kusaladhamma, Kronologi Hidup Buddha, Pustaka Karaniya, 2006, hal.51-75
[4] Keempat Kebenaran Mulia ini terdapat dalam Dhammapada, 190-192: “Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kasunyatan Mulia, yaitu: dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang menuju pada akhir dukkha. Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.”
[5] Jalan Beruas Delapan yang dimaksud adalah: pengertian yang benar (Samma-ditthi), pikiran yang benar (Samma-sankappa), bicara yang benar (Samma-vacha), tingkahlaku yang benar (Samma-kammanta), bekerja yang benar (Samma-ajiva), usaha yang benar (Samma-vayama), kontrol budi yang benar (Samma-sati), dan konsentrasi yang benar (Samma-samadhi).
[6] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1995, hal.310-311.
[7] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 1993, hal. 18
[8] Bdk. Tom Jacobs SJ, Paham Allah, Kanisius, Yogyakarta: 2002, hal.95-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar